Berita  

KAHARINGAN & KEPUNAHAN AGAMA NENEK MOYANG

Mengenal Kehidupan Suku Uud Danum di Kalimantan Barat. Dayak Uud Danum masih mempertahankan Agama Kaharingan meski secara formal mereka beragama Kristen atau agama lain. Kini suku ini tengah berjuang melawan kepunahan agama nenek moyang mereka

HERIYANTO, Pontianak SALAH satu keunikan Dayak Uud Danum yang bermukim di sekitar lereng Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya adalah pernah memiliki agama yang berlatar belakang kebudayaan lokal, yakni Kaharingan. Kaharingan adalah religi suku atau kepercayaan tradisional orang Dayak. Istilah kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah Danum Kaharingan (air kehidupan). Maksudnya agama suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang hidup dan tumbuh secara turun-temurun dan dihayati oleh masyarakat Dayak di Kalimantan.
Di Kalimantan Barat, agama Kaharingan pernah dianut sebagian besar masyarakat Uud Danum di Kecamatan Serawai dan Kecamatan Ambalau, Kabupaten Sintang, serta di Kecamatan Menukung dan Kecamatan Ella Hilir, Kabupaten Melawi. Antropolog dari Universitas Tanjungpura, Profesor Emeritus Dr Syamsuni Arman PhD mengatakan, Dayak Uud Danum adalah suku asli Borneo yang berdiam di wilayah hulu sungai-sungai di Kalbar, Kalteng, dan Kaltim. Mereka tinggal dalam permukiman-permukiman yang tersebar di sekeliling bukit kembar: Bukit Baka dan Bukit Raya. “Tatanan kehidupan Uud Danum tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan Kaharingan yang menjadi dasar dari kebudayaan mereka,” ujar Syamsuni Arman.
Saat ini, meski tidak lagi sebagai agama resmi, tradisi Kaharingan di kalangan Uud Danum tetap dianggap bagian yang tidak terpisahkan dari budayanya. Di antaranya dalam upacara kematian, masyarakat Dayak Uud Danum masih menggelar upacara membakar jenazah bagi keluarganya yang meninggal dunia. Selanjutnya abunya disimpan di dalam pondok kecil yang disebut sandung atau kodiring.

Ketua Paguyuban Uud Danum Rafael Syamsuddin mengatakan, tradisi Kaharingan merupakan wujud penghargaan terhadap kearifan lokal. Agama Kaharingan lahir dari tradisi yang tumbuh dan berkembang dalam derap hidup keseharian orang Dayak, mulai dari kelahiran, perkawinan, dan kematian. Semua ritual itu dipegang teguh secara turun-temurun dan hingga sekarang masih dianut dan ditaati pemeluknya.
Menurut Rafael, kearifan budaya berupa penghormatan terhadap lingkungan dan alam sekitar, merupakan salah satu nilai budaya yang mampu dipertahankan masyarakat Dayak di Kalimantan hingga saat ini. Agama ini tidak dimulai sejak zaman tertentu. Karena itu, Kaharingan tidak memiliki buku pedoman (kitab suci) atau tokoh panutan sebagai pendiri. Mereka percaya Kaharingan diturunkan dan diatur secara langsung oleh Tuhan.
Agama Kaharingan tersebar ke berbagai wilayah di Kalimantan. Di Kalimantan Tengah, Agama Kaharingan masih bisa bertahan hingga sekarang. Di sana, Agama Kaharingan sangat eksis di kalangan Dayak Ngaju. Perkembangan Agama Kaharingan di kalangan Dayak Meratus dan Dayak Benuaq di Provinsi Kalimantan Timur, tidak sepesat yang terjadi di kalangan Dayak Ngaju maupun Dayak Uud Danum di Provinsi Kalimantan Tengah.
Masuknya agama Kaharingan di Kalimantan diyakini jauh lebih dulu dari masuknya Islam dan Kristen ke pulau ini. Antropolog Universitas Muhamadiyah, Pontianak, Dr Zainuddin Isman, mengatakan, tradisi Kaharingan merupakan bagian dari agama Hindu, namun sudah bercampur dengan kepercayaan lokal dan animisme. ”Kenapa berbeda dari Hindu di Bali? Karena telah terjadi sinkretisme dengan agama lokal. Sebagiannya Hindu, sebagiannya kepercayaan lokal,” jelas Zainuddin.
Zainuddin meyakin hal ini, karena pernah ditemukan sejumlah patung bertuliskan mantra yang menandakan ciri-ciri agama Hindu. Persebaran patung ini ada di beberapa tempat. Seperti Nanga Taman, Serawai, dan sejumlah tempat lain. Saya menduga masuknya pada Zaman Majapahit. “Mungkin ada pengembara yang masuk ke sana dan ini lantas mempengaruhi kepercayaan lokal,” katanya.

Ketua Paguyuban Uud Danum, Rafael Syamsuddin mengatakan, di Kalbar penganut agama Kaharingan sudah sangat berkurang. Hal ini berbeda dengan di Kalimantan Tengah, di mana Agama Kaharingan dianut sekitar 330.000 warga Dayak Ngaju. Agama Kaharingan di Kalteng merupakan salah satu agama suku di dunia yang masih bisa bertahan di tengah-tengah pembangunan dan globalisasi. Sementara di Kalbar agama Kaharingan ini “diberangus” dengan berbagai dalih.
Dalam perkembangannya, keberadaan agama Kaharingan di Kalimantan Barat semakin menipis karena berbagai hal. Misalnya saja intervensi pemerintah pasca-operasi penumpasan pemberontakan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak/ Persatuan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/Paraku) di sepanjang perbatasan dengan Malaysia, 1967 – 1977. Agama Kaharingan di Kalimantan Barat dianggap bukan agama resmi oleh pemerintah sebagaimana agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha. Masyarakat Dayak Uud Danum yang masih menganut agama Kaharingan diinstruksikan untuk mengubah keyakinan sesuai yang direkomengasikan pemerintah agar tidak dicap komunis gaya baru yang identik dengan PGRS/Paraku.
Namun jauh sebelumnya, pemerintah Kolonial Belanda juga pernah melakukan hal sama. Menurut Zainuddin Isman, Pemerintah Kolonial Belanda mempunyai peran penting dalam proses pembentukan dan perubahan identitas Dayak dan kedayakan. Zainuddin menyatakan, nama Dayak sebenarnya merupakan konstruksi sosial yang baru ada pada awal ke-19. Nama Dayak merupakan payung nama dari suku-suku asli di Kalimantan yang waktu itu saling berperang. Belanda membuat penyiasatan sosial dan politik. Agar mereka bersatu dan tidak saling berperang. Saat itu ada banyak rumpun Dayak. Masing-masing rumpun memiliki kelompok sendiri. Karena itu ada perbedaan antara Dayak yang satu dengan Dayak lainnya.
”Pada awalnya, sebagian mereka memiliki agama kaharingan atau animisme. Oleh Belanda didatangkanlah sarjana, antropolog, atau penyebar agama untuk mengagamakan mereka,” jelas Zainuddin. Hingga kini sebenarnya, sebagian suku Uud Danum di Kalbar masih menjalankan ritual-ritual Kaharingan, meski secara formal mereka beragama Kristen atau agama lain. Program pengagamaan Dayak pasca-operasi penumpasan PGRS/Paraku ini telah menyebabkan “punahnya” agama Kaharingan di Kalimantan Barat pada periode 1967– 1977.
Salah satunya dengan mendapatkan guru-guru dari Nusa Tenggara Timur yang sebagian besar beragama Katolik dan Protestan pada 1978 hingga 1982. Di samping mengajar di sekolah, guru-guru itu diinstruksikan mengagamakan Dayak di pedalaman dan perbatasan, sesuai dengan agama yang dianut mereka sebelum datang ke Kalimantan Barat.Menurut Zainuddin Isman, kedatangan 3.000 guru dari NTT itu merupakan bagian dari program untuk memasukkan agama pada kalangan Dayak di Kalimantan Barat yang difasilitasi resmi oleh pemerintah.

Foto : KAHARINGAN: Salah satu ritual adat yang dilaksanakan Dayak Uud Danum di Kalimantan Barat. Suku ini masih mempertahankan kepercayaan Kaharingan ISTIMEWA

Sumber : PontianakPost.com
Dayak Uud Danum masih mempertahankan Agama Kaharingan meski secara formal mereka beragama Kristen atau agama lain. Kini suku ini tengah berjuang melawan kepunahan agama nenek moyang mereka

Rudin Wartawan Kabupaten Seruyan Kalimantam Tengah