Berita  

Hofni Simbiak STh Tokoh Papua Mantan Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua & Anggota MRP 2 Periode Bertandang ke Awak Media Cyber 88

Hofni Simbiak, STh salah satu Tokoh Papua, mantan Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua, Anggota MRP 2 periode 2005 -2011 dan 2011-2016, bertandang ke awak media Cyber88.

Dalam lawatannya ia mengatakan bahwa yang menjadi masalah di Tanah Papua semenjak saya menjadi anggota Majelis Rakyat Papua sampai pada hari ini tidak lagi menjabat anggota MRP, tetap bergumul dengan status OAP (Orang Asli Papua) karena undang-Undang ini lahir dan disahkan tanpa melalui sosialisasi yang panjang. Alasannya kurang dana atau biaya padahal Undang-Undang ini sudah di catat dalam lembaran negara, dan amanat UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua mengatur hak konstitusional OAP, dalam hal rekrutmen politik untuk menjadi calon Gubernur Wakil Gubernur, Bupati Wakil Bupati, Walikota Wakil Walikota, pengurus partai politik dan calon anggota legislatif, disebut rekrutmen politik, jelasnya.

Tahun ini akan di gelar pesta demokrasi, Pilkada serentak dan akan ada rekrutmen politik, untuk calon Bupati Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, di provinsi Papua. Tapi dalam hal ini, masih banyak orang papua yang belum memahami mekanisme yang berlaku karena ketentuan yang di atur dalam UU No 21 tahun 2001 tersebut yang seolah-olah tidak tercantum dengan jelas mengenai rekrutmen politik untuk calon kepala daerah tingkat kabupaten/kota dan seolah-olah hanya mengatut tentang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur saja yang tertulis dengan jelas. MRP memberikan pertimbangan dan persetujuan Orang Asli Papua,ungkapnya.

Ia berpendapat, lahirnya undang-undang Otonomi Khusus tersebut, terkesan tidak melihat kepada latar belakan penyusunannya dan lebih parah lagi terkesan hanya di jadikan sebagai alat untuk mendiskreditkan orang asli papua dan membuatnya kehilangan hak, karena:

“Pertama, pemilihan itu hanya di pandang sebagai suatu bagian dimana orang yang banyak akan menang dan orang yang sedikit akan kalah. Itulah kelemahan demokrasi, dimana yang banyak selalu mengalahkan sedikit, sehingga kandidat akan memilih wakilnya hanya memandang jumlah populasi pendukungnya yang terbanyak, sehingga tidak mau mengandeng Orang Asli Papua untuk menjadi Wakilnya

“Kedua tidak menghargai jati dirinya dan merasa minder bahwa pasti kalah, apabila menggandeng OAP, apalagi tidak didukung oleh finansial yang kuat sehingga ia memilih wakilnya yang bukan OAP, dan ini adalah suatu bentuk diskriminasi.

Rekrutmen politik di kabupaten/Kota , DPR harus meminta Pertimbangan dan persetujuan kepada MRP, ini yang tidak tertulis dengan jelas, dalam UU Otsus , UU Pemilu serta turunan dan peraturan KPU itulah yang di jadikan alasan. Padahal dalam pasal 28 UU Otonomi Khusus ayat 3, di jelaskan bahwa “Rekrutmen politik oleh partai Politik harus memperioritaskan Masyarakat Asli Papua”.

Partai politik Nasional meminta Pertimbangan dan persetujuan kepada MRP. Dan menurutnya, mereka hanya memahami di pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur saja yang tertulis bahwa keaslian OAP sebagai salah satu syarat.

Kembali ke pokok persoalan tadi, terutama menjadi Bupati dan Wakil Bupati ini amanat UU Otsus seharusnya dengan sendirinya dapat terlaksana lebih lanjut supaya ini dilaksakan maka paling tidak UU ini adalah undang-undang Negara Republik Indonesia yang berlaku secara spesifik atau khusus maka berlaku pemahaman hukum internasional yaitu affirmasi action menjadi affirmasi politik kalau ini tidak terlaksana dengan baik maka terjadi diskriminasi positif terhadap orang asli Papua, mengapa orang asli Papua tidak duduk sebagai bupati dan wakil bupati dalam latar belakang UU Otsus ini. Oleh karena itu perlu dan sangat dalam aturan – aturan yang berlaku secara Nasional yang di keluarkan dan berlaku di seluruh Indonesia kecuali, Aceh,Jogyakarta, DKI Jaya dan Papua karena berlaku khusus, sepanjang kata ini dilupakan maka Orang Asli Papua di lupakan dalam hidup berbangsa dan bernegara dalam Negara ini, dan didiskriminasi politik dalam negara ini.

Berkali-kali saat saya berada di senayan, menyampaikan kepada DPR RI baik di Komisi II maupun pimpinan DPR RI, dan terakhir saya bicara di Kantor Gubernur kepada Fadli zon wakil Ketua DPR RI saat datang ke Papua. Saya mengingatkan bahwa segala UU yang dikeluarkan itu harus berlaku kata “kecuali” ini harus berlaku kecualian khusus dan penghargaan dan penghormatan terhadap UU Otsus yang telah ditetapkan dalam republik ini dan berlaku secara khusus di daerah tersebut. Dengan demikian hal ini merujuk kepada KPU sebagai lembaga independen yang sebagaimana di sampaikan dalam UUD 1945 pasal 22 huruf e, bahwa peserta pemilu adalah partai politik atau istilah kontestan pemilu dan perorangan. Maka, atas dasar itu KPU dalam rangka UU KPU yang akan di tetapkan selalu mengingat hal itu, sebab UU berlaku di seluruh Indonesia terkecuali, Mengapa Aceh berlaku secara Khusus sedangkan Papua tidak, ini diskriminasi politik, dan Undang-Undang KPU ada turunannya yaitu peraturan KPU.

Untuk menterjemahkan hal ini, teknis pelaksananannya undang-Undang KPU, karena tidak ada peraturan pemerintahnya, maka peraturan KPU bersifat mengatur dan mengikat kedudukannya sama dengan peraturan pemerintah, itu berarti pelaksanaan pilkada di seluruh Indonesia khususnya di Provinsi Papua harus lakukan syararat keaslian OAP dan kepada MRP dengan sendirinya, kepada semua orang yang ada diatas Tanah Papua akan menghargai Orang Asli Papua, karena ini amanat UU Otonomi Khusus.

Tetapi yang sedang terjadi di Republik Indonesia, ini orang tidak menghargai. Datang ke tanah Papua didukung lagi aturan-aturan yang ada dengan alasan Nasionalisme, lalu terjadi diskriminasi, diskriminasi Politik, diskriminasi pemerintahan diskriminasi ekonomi dan diskriminasi di segala bidang, banyak hal yang terjadi lalu dipersalahkan, kalau saja apa yang tadi dikatakan itu dilakukan dengan baik, bahwa KPU memasukan syarat keaslian OAP dalam aturan-aturan mainnya yang ada dengan sendirinya tidak banyak mengalami berbagai- bagai masalah atau ekses-ekses keamanan diatas Tanah Papua,Tandasnya.

Undang-Undang ini juga yang mengakibatkan terjadinya gejolak diatas Tanah Papua, Undang-Undang ini juga melahirkan diskriminasi bagi OAP, padahal sudah dikatakan bahwa Undang-Undang ini lahir karena adanya diskriminasi positif, affirmasi action menjadi affirmasi politik ini yang kurang disadari oleh negara selaku membuat Undang-Undang ini lalu ditanda tangani oleh Presiden. Dan selanjutnya supaya berlangsung dengan baik di daerah. Paling tidak Majelis Rakyat Papua sebagai representasi Orang Asli Papua tepat melaksanakan tugasnya maka terus berupaya dan dapat menyampaikan kepada pemerintah dalam Undang-Undang Otsus.

Undang-Undang Otsus sudah dikatakan bahwa pemberian kewenangan kepada orang asli Papua untuk mengatur dirinya sendiri sebagai mana yang ada ini. Ini yang tidak dilaksanakan lalu undangan-undang Otonomi Khusus dalam penjelasannya di katakan bahwa Otonomi rekonsiliasi politik antara Jakarta dan Papua ini merupakan latar belakan penyusunan Otonomi Khusus.

Bahwa Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan Daerah dan turunannya PP No.6 Tahun 2005 tidak lagi berlaku di Provinsi Papua karena gugur demi hukum, karena berlaku azas Lex specialis derogat Lex generalis artinya aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum. Maka bagian yang tadi kita sebut affirmasi action menjadi affirmasi politik ini menjadi aturan- aturan jelas maka demikianlah menjadi rujukan bagi DPR, terutama KPU melaksanan tugasnya kepada Gubernur, Bupati pembina politik di daerah bahwa aturan hukum sudah jelas bagi kami.

Sebenarnya aturannya sudah jelas orang-orang yang tidak mengerti dan yang sudah mengerti hal ini, tetapi juga membuat seolah-olah tidak paham Jakarta kalau tidak mengeluarkan aturan kita disebut melawan negara. Padahal kami sudah berjanji bahwa Papua dalam bingkai NKRI.pungkasnya.

Selanjutnya Ketua DPD LSM WGAB PROVINSI PAPUA, saat di datang awak media ke rumahnya, dengan tegas mengatakan ini tanggung jawab Pemerintah DPRP dan MRP segerah segera menetapkan atau menandatangani Raperdasus keaslian OAP Menjadi Perdasus.

FT.CYBER JAYAPURA –
Hofni Simbiak,STh salah satu Tokoh Papua, mantan Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua, Anggota MRP 2 peruode 2005 -2011 dan 2011-2016, bertandang ke awak media Cyber88. Dalam lawatannya ia mengatakan bahwa yang menjadi masalah di Tanah Papua semenjak saya menjadi anggota Majelis Rakyat Papua sampai pada hari ini tidak lagi menjabat anggota MRP, tetap bergumul dengan status OAP (Orang Asli Papua) karena undang-Undang ini lahir dan disahkan tanpa melalui sosialisasi yang panjang. Alasannya kurang dana atau biaya padahal Undang-Undang ini sudah di catat dalam lembaran negara,tandasnya.

Ia menyampaikan bahwa amanat UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua mengenai hak konstitusional OAP, dalam hal rekrutmen politik untuk menjadi calon Gubernur Wakil Gubernur, Bupati Wakil Bupati, Walikota Wakil Walikota, pengurus partai politik dan calon anggota legislatif, disebut rekrutmen politik.

Tahun ini akan di gelar pesta demokrasi, Pilkada serentak dan akan ada rekrutmen politik, untuk calon Bupati Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, di provinsi Papua. Tapi dalam hal ini, masih banyak orang papua yang belum memahami mekanisme yang berlaku karena ketentuan yang si atur dalam UU No 21 tahun 2001 tersebut yang seolah-olah tidak tercantum dengan jelas mengenai rekrutmen politik untuk calon kepala daerah tingkat kabupaten/kota dan seolah-olah hanya mengatut tentang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur saja yang tertulis dengan jelas. MRP memberikan pertimbangan dan persetujuan Orang Asli Papua.

Ia berpendapat, lahirnya undang-undang Otonomi Khusus tersebut, terkesan tidak melihat kepada latar belakan penyusunannya dan lebih parah lagi terkesan hanya di jadikan sebagai alat untuk mendiskreditkan OAP dan membuatnya kehilangan hak, karena:

“Pertama, pemilihan itu hanya di pandang sebagai suatu bagian dimana orang yang banyak akan menang dan orang yang sedikit akan kalah. Itulah kelemahan demokrasi, dimana yang banyak selalu mengalahkan sedikit, sehingga kandidat akan memilih wakilnya hanya memandang jumlah populasi pendukungnya yang terbanyak, sehingga tidak mau mengandeng Orang Asli Papua untuk menjadi Wakilnya

“Kedua tidak menghargai jati dirinya dan merasa minder bahwa pasti kalah, apabila menggandeng OAP, apalagi tidak didukung oleh finansial yang kuat sehingga ia memilih wakilnya yang bukan OAP, dan ini adalah suatu bentuk diskriminasi.

Berbicara Rekrutmen politik di kabupaten/Kota , DPR harus meminta Pertimbangan dan persetujuan kepada MRP, ini yang tidak tertulis dengan jelas, dalam UU Otsus , UU Pemilu serta turunan dan peraturan KPU itulah yang di jadikan alasan. Padahal dalam pasal 28 UU Otonomi Khusus ayat 3, di jelaskan bahwa “Rekrutmen politik oleh partai Politik harus memperioritaskan Masyarakat Asli Papua”.

Partai politik Nasional meminta Pertimbangan dan persetujuan kepada MRP. Dan menurutnya, mereka hanya memahami dipemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur hal itu tertulis bahwa keaslian OAP sebagai salah satu syarat.

Kembali ke pokok persoalan tadi, terutama menjadi Bupati dan Wakil Bupati ini amanat UU Otsus seharusnya dengan sendirinya dapat terlaksana lebih lanjut supaya ini dilaksakan maka paling tidak UU ini adalah undang-undang Negara Republik Indonesia yang berlaku secara spesifik atau khusus maka berlaku pemahaman hukum internasional yaitu affirmasi action menjadi affirmasi politik kalau ini tidak terlaksana dengan baik maka terjadi diskriminasi positif terhadap orang asli Papua, mengapa orang asli Papua tidak duduk sebagai bupati dan wakil bupati dalam latar belakang UU Otsus ini. Oleh karena itu perlu dan sangat dalam aturan – aturan yang berlaku secara Nasional yang di keluarkan dan berlaku di seluruh Indonesia kecuali, Aceh,Jogyakarta, DKI Jaya dan Papua karena berlaku khusus, sepanjang kata ini dilupakan maka Orang Asli Papua di lupakan dalam hidup berbangsa dan bernegara dalam Negara ini, dan didiskriminasi politik dalam negara ini.

Berkali-kali saat saya berada di senayan, menyampaikan kepada DPR RI baik di Komisi II maupun pimpinan DPR RI, dan terakhir saya bicara di Kantor Gubernur kepada Fadli zon wakil Ketua DPR RI saat datang ke Papua. Saya mengingatkan bahwa segala UU yang dikeluarkan itu harus berlaku kata kecuali ini harus berlaku kecualian khusus dan penghargaan dan penghormatan terhadap UU Otsus yang telah ditetapkan dalam republik ini dan berlaku secara khusus di daerah. Dengan demikian hak ini merujuk kepada KPU sebagai lembaga independen yang sebagaimana di sampaikan dalam UUD 1945 pasal 22 huruf e, bahwa peserta pemilu adalah partai politik atau istilah kontestan pemilu dan perorangan. Maka atas dasar itu KPU dalam rangka UU KPU yang akan di tetapkan selalu mengingat hal itu, sebab UU berlaku di seluruh Indonesia terkecuali, Mengapa Aceh berlaku secara Khusus sedangkan Papua tidak, ini diskriminasi politik, dengan itu secara turun-temurun bahwa dari Undang-Undang KPU ada peraturan KPU.

Untuk menterjemahkan hal ini, teknis pelaksananannya karena undang-Undang KPU tidak ada peraturan pemerintahnya maka peraturan KPU bersifat mengatur dan mengikat kedudukannya sama dengan peraturan pemerintah, itu berarti pelaksanaan pilkada di seluruh Indonesia khususnya di Provinsi Papua harus lakukan syararat keaslian OAP dan kepada MRP dengan sendirinya, kepada semua orang yang ada diatas Tanah Papua akan menghargai Orang Asli Papua, karena ini amanat UU Otonomi Khusus tetapi yang sedang terjadi di Republik Indonesia, jelasnya.

Ini orang tidak menghargai datang ke tanah Papua didukung lagi aturan-aturan yang ada dengan alasan Nasionalisme, lalu terjadi diskriminasi, diskriminasi Politik, diskriminasi pemerintahan diskriminasi ekonomi dan diskriminasi di segala bidang, banyak hal yang terjadi lalu dipersalahkan, kalau saja apa yang tadi dikatakan itu dilakukan dengan baik, bahwa KPU memasukan syarat keaslian OAP dalam aturan-aturan mainnya yang ada dengan sendirinya tidak banyak mengalami berbagai- bagai masalah atau ekses-ekses keamanan diatas Tanah Papua,Tandasnya.

Undang-Undang ini juga yang mengakibatkan terjadi hal-hal keamanan diatas Tanah Papua, Undang-Undang ini juga melahirkan diskriminasi antara OAP dan saudara-saudara yang ada dari luar Papua padahal sudah dikatakan bahwa Undang-Undang ini lahir karena adanya diskriminasi positif, affirmasi action menjadi affirmasi politik ini yang kurang disadari oleh negara selaku membuat Undang-Undang ini lalu ditanda tangani oleh Presiden. Berikut supaya hal ini berlangsung dengan baik di daerah paling tidak Majelis Rakyat Papua sebagai representasi Orang Asli Papua tepat melaksanakan tugasnya maka terus berupaya dan dapat menyampaikan kepada pemerintah dalam Undang-Undang Otsus.

Undang-Undang Otsus sudah dikatakan bahwa pemberian kewenangan kepada orang asli Papua untuk mengatur dirinya sendiri sebagai mana yang ada ini. Ini yang tidak dilaksanakan lalu undangan-undang Otonomi Khusus dalam penjelasannya di katakan bahwa Otonomi rekonsiliasi politik antara Jakarta dan Papua ini merupakan latar belakan penyusunan Otonomi Khusus.

Bahwa Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan Daerah dan turunannya PP No.6 Tahun 2005 tidak lagi berlaku di Provinsi Papua karena gugur demi hukum, karena berlaku azas Lex specialis derogat Lex generalis artinya aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum. Maka bagian yang tadi kita sebut affirmasi action menjadi affirmasi politik ini menjadi aturan- aturan jelas maka demikianlah menjadi rujukan bagi DPR, terutama KPU melaksanan tugasnya kepada Gubernur, Bupati pembina politik di daerah bahwa aturan hukum sudah jelas bagi kami.

Sebenarnya aturannya sudah jelas orang-orang yang tidak mengerti dan yang sudah mengerti hal ini, tetapi juga membuat seolah-olah tidak paham Jakarta kalau tidak mengeluarkan aturan kita disebut melawan negara. Padahal kami sudah berjanji bahwa Papua dalam bingkai NKRI.pungkasnya.

Selanjutnya Ketua DPD LSM WGAB PROVINSI PAPUA, saat di datang awak media ke rumahnya, dengan tegas mengatakan ini tanggung jawab Pemerintah DPRP dan MRP segerah segera menetapkan atau menandatangani Raperdasus keaslian OAP Menjadi Perdasus.

FT.CYBER JAYAPURA –
Hofni Simbiak,STh salah satu Tokoh Papua, mantan Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua, Anggota MRP 2 peruode 2005 -2011 dan 2011-2016, bertandang ke awak media Cyber88. Dalam lawatannya ia mengatakan bahwa yang menjadi masalah di Tanah Papua semenjak saya menjadi anggota Majelis Rakyat Papua sampai pada hari ini tidak lagi menjabat anggota MRP, tetap bergumul dengan status OAP (Orang Asli Papua) karena undang-Undang ini lahir dan disahkan tanpa melalui sosialisasi yang panjang. Alasannya kurang dana atau biaya padahal Undang-Undang ini sudah di catat dalam lembaran negara,tandasnya.

Ia menyampaikan bahwa amanat UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua mengenai hak konstitusional OAP, dalam hal rekrutmen politik untuk menjadi calon Gubernur Wakil Gubernur, Bupati Wakil Bupati, Walikota Wakil Walikota, pengurus partai politik dan calon anggota legislatif, disebut rekrutmen politik.

Tahun ini akan di gelar pesta demokrasi, Pilkada serentak dan akan ada rekrutmen politik, untuk calon Bupati Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, di provinsi Papua. Tapi dalam hal ini, masih banyak orang papua yang belum memahami mekanisme yang berlaku karena ketentuan yang si atur dalam UU No 21 tahun 2001 tersebut yang seolah-olah tidak tercantum dengan jelas mengenai rekrutmen politik untuk calon kepala daerah tingkat kabupaten/kota dan seolah-olah hanya mengatut tentang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur saja yang tertulis dengan jelas. MRP memberikan pertimbangan dan persetujuan Orang Asli Papua.

Ia berpendapat, lahirnya undang-undang Otonomi Khusus tersebut, terkesan tidak melihat kepada latar belakan penyusunannya dan lebih parah lagi terkesan hanya di jadikan sebagai alat untuk mendiskreditkan OAP dan membuatnya kehilangan hak, karena:

“Pertama, pemilihan itu hanya di pandang sebagai suatu bagian dimana orang yang banyak akan menang dan orang yang sedikit akan kalah. Itulah kelemahan demokrasi, dimana yang banyak selalu mengalahkan sedikit, sehingga kandidat akan memilih wakilnya hanya memandang jumlah populasi pendukungnya yang terbanyak, sehingga tidak mau mengandeng Orang Asli Papua untuk menjadi Wakilnya

“Kedua tidak menghargai jati dirinya dan merasa minder bahwa pasti kalah, apabila menggandeng OAP, apalagi tidak didukung oleh finansial yang kuat sehingga ia memilih wakilnya yang bukan OAP, dan ini adalah suatu bentuk diskriminasi.

Berbicara Rekrutmen politik di kabupaten/Kota , DPR harus meminta Pertimbangan dan persetujuan kepada MRP, ini yang tidak tertulis dengan jelas, dalam UU Otsus , UU Pemilu serta turunan dan peraturan KPU itulah yang di jadikan alasan. Padahal dalam pasal 28 UU Otonomi Khusus ayat 3, di jelaskan bahwa “Rekrutmen politik oleh partai Politik harus memperioritaskan Masyarakat Asli Papua”.

Partai politik Nasional meminta Pertimbangan dan persetujuan kepada MRP. Dan menurutnya, mereka hanya memahami dipemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur hal itu tertulis bahwa keaslian OAP sebagai salah satu syarat.

Kembali ke pokok persoalan tadi, terutama menjadi Bupati dan Wakil Bupati ini amanat UU Otsus seharusnya dengan sendirinya dapat terlaksana lebih lanjut supaya ini dilaksakan maka paling tidak UU ini adalah undang-undang Negara Republik Indonesia yang berlaku secara spesifik atau khusus maka berlaku pemahaman hukum internasional yaitu affirmasi action menjadi affirmasi politik kalau ini tidak terlaksana dengan baik maka terjadi diskriminasi positif terhadap orang asli Papua, mengapa orang asli Papua tidak duduk sebagai bupati dan wakil bupati dalam latar belakang UU Otsus ini. Oleh karena itu perlu dan sangat dalam aturan – aturan yang berlaku secara Nasional yang di keluarkan dan berlaku di seluruh Indonesia kecuali, Aceh,Jogyakarta, DKI Jaya dan Papua karena berlaku khusus, sepanjang kata ini dilupakan maka Orang Asli Papua di lupakan dalam hidup berbangsa dan bernegara dalam Negara ini, dan didiskriminasi politik dalam negara ini.

Berkali-kali saat saya berada di senayan, menyampaikan kepada DPR RI baik di Komisi II maupun pimpinan DPR RI, dan terakhir saya bicara di Kantor Gubernur kepada Fadli zon wakil Ketua DPR RI saat datang ke Papua. Saya mengingatkan bahwa segala UU yang dikeluarkan itu harus berlaku kata kecuali ini harus berlaku kecualian khusus dan penghargaan dan penghormatan terhadap UU Otsus yang telah ditetapkan dalam republik ini dan berlaku secara khusus di daerah. Dengan demikian hak ini merujuk kepada KPU sebagai lembaga independen yang sebagaimana di sampaikan dalam UUD 1945 pasal 22 huruf e, bahwa peserta pemilu adalah partai politik atau istilah kontestan pemilu dan perorangan. Maka atas dasar itu KPU dalam rangka UU KPU yang akan di tetapkan selalu mengingat hal itu, sebab UU berlaku di seluruh Indonesia terkecuali, Mengapa Aceh berlaku secara Khusus sedangkan Papua tidak, ini diskriminasi politik, dengan itu secara turun-temurun bahwa dari Undang-Undang KPU ada peraturan KPU.

Untuk menterjemahkan hal ini, teknis pelaksananannya karena undang-Undang KPU tidak ada peraturan pemerintahnya maka peraturan KPU bersifat mengatur dan mengikat kedudukannya sama dengan peraturan pemerintah, itu berarti pelaksanaan pilkada di seluruh Indonesia khususnya di Provinsi Papua harus lakukan syararat keaslian OAP dan kepada MRP dengan sendirinya, kepada semua orang yang ada diatas Tanah Papua akan menghargai Orang Asli Papua, karena ini amanat UU Otonomi Khusus tetapi yang sedang terjadi di Republik Indonesia, jelasnya.

Ini orang tidak menghargai datang ke tanah Papua didukung lagi aturan-aturan yang ada dengan alasan Nasionalisme, lalu terjadi diskriminasi, diskriminasi Politik, diskriminasi pemerintahan diskriminasi ekonomi dan diskriminasi di segala bidang, banyak hal yang terjadi lalu dipersalahkan, kalau saja apa yang tadi dikatakan itu dilakukan dengan baik, bahwa KPU memasukan syarat keaslian OAP dalam aturan-aturan mainnya yang ada dengan sendirinya tidak banyak mengalami berbagai- bagai masalah atau ekses-ekses keamanan diatas Tanah Papua,Tandasnya.

Undang-Undang ini juga yang mengakibatkan terjadi hal-hal keamanan diatas Tanah Papua, Undang-Undang ini juga melahirkan diskriminasi antara OAP dan saudara-saudara yang ada dari luar Papua padahal sudah dikatakan bahwa Undang-Undang ini lahir karena adanya diskriminasi positif, affirmasi action menjadi affirmasi politik ini yang kurang disadari oleh negara selaku membuat Undang-Undang ini lalu ditanda tangani oleh Presiden. Berikut supaya hal ini berlangsung dengan baik di daerah paling tidak Majelis Rakyat Papua sebagai representasi Orang Asli Papua tepat melaksanakan tugasnya maka terus berupaya dan dapat menyampaikan kepada pemerintah dalam Undang-Undang Otsus.

Undang-Undang Otsus sudah dikatakan bahwa pemberian kewenangan kepada orang asli Papua untuk mengatur dirinya sendiri sebagai mana yang ada ini. Ini yang tidak dilaksanakan lalu undangan-undang Otonomi Khusus dalam penjelasannya di katakan bahwa Otonomi rekonsiliasi politik antara Jakarta dan Papua ini merupakan latar belakan penyusunan Otonomi Khusus.

Bahwa Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan Daerah dan turunannya PP No.6 Tahun 2005 tidak lagi berlaku di Provinsi Papua karena gugur demi hukum, karena berlaku azas Lex specialis derogat Lex generalis artinya aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum. Maka bagian yang tadi kita sebut affirmasi action menjadi affirmasi politik ini menjadi aturan- aturan jelas maka demikianlah menjadi rujukan bagi DPR, terutama KPU melaksanan tugasnya kepada Gubernur, Bupati pembina politik di daerah bahwa aturan hukum sudah jelas bagi kami.

Sebenarnya aturannya sudah jelas orang-orang yang tidak mengerti dan yang sudah mengerti hal ini, tetapi juga membuat seolah-olah tidak paham Jakarta kalau tidak mengeluarkan aturan kita disebut melawan negara. Padahal kami sudah berjanji bahwa Papua dalam bingkai NKRI.pungkasnya.

Selanjutnya Ketua DPD LSM WGAB PROVINSI PAPUA, saat di datang awak media ke rumahnya, dengan tegas mengatakan ini tanggung jawab Pemerintah DPRP dan MRP segerah segera menetapkan atau menandatangani Raperdasus keaslian OAP Menjadi Perdasus.

FT.Predinan Tokoro