JAKARTA – Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan Indonesia harus mengembangkan sistem perekonomian merdeka, merdeka seratus persen, yang mampu mencapai keadilan dan kemakmuran bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Membangun semangat gotong royong untuk sejahtera bersama, serta penguasaan negara atas sektor-sektor penting yang menguasai hajat hidup orang banyak, disertai upaya sungguh-sungguh untuk meningkatkan nilai tambah atas hasil bumi, laut, tambang, sehingga tidak lagi diekspor dalam bentuk mentah atau setengah jadi.
“Indonesia dengan potensi sumberdaya alam yang melimpah harus mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri, seperti pangan dan obat-obatan secara berdaulat. Paradigma ekonomi lama dengan prinsip asal mengimpor dengan harga murah, harus segera diakhiri. Karena terperangkap dalam prinsip itu, membuat kita kehilangan wahana meningkatkan kapabilitas belajar untuk mengolah dan mengembangkan nilai tambah potensi sumberdaya kita. Tanpa usaha menanam dan memproduksi sendiri, dengan penguasaan teknologi sendiri, kita akan terus mengalami ketergantungan,” katanya dalam Peringatan Hari Konstitusi dan HUT Ke-77 MPR RI di Gedung Nusantara IV, Komplek MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Kamis (18/8/2022).
Peringatan Hari Konstitusi dan HUT ke-77 MPR RI ini dihadiri Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin, Ketua DPR Puan Maharani, para wakil ketua MPR, Pimpinan DPR, Pimpinan DPD, Menkopolhukam Mahfud MD, Menko PMK Muhadjir Effendy, pimpinan lembaga tinggi negara, pimpinan fraksi dan kelompok DPD di MPR, Pimpinan Badasn Pengkajian MPR, Pimpinan Komisi Kajian Ketatanegaraan, Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa.
Bamsoet, sapaan Bambang Soesatyo, mengungkapkan Presiden Jokowi berulangkali menyampaikan, segala sumber daya yang ada harus dikelola dan diolah oleh bangsa Indonesia sendiri, dengan teknologi dan inovasi yang kita kembangkan sendiri. Hanya dengan cara itu, kita dapat meningkatkan nilai tambah terhadap sumber daya yang kita miliki. Memberi kesempatan kepada banyak orang untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi, yang memungkinkan terjadinya mobilitas sosial yang inklusif,”ujarnya.
Indonesia, lanjut Bamsoet, dapat belajar dari pengalaman negara-negara yang berhasil bertransformasi, dari negara miskin menjadi negara makmur, seperti negara-negara Asia Timur. Lokomotif kemakmuran terletak pada usahawan-inovator, yang berhasil mengembangkan inovasi-teknologi yang dapat menciptakan pasar baru. Usahawan-inovator bisa melahirkan keuntungan berlimpah untuk diinvestasikan ulang ke dalam sektorsektor usaha baru dan lapangan kerja baru. “Dengan cara itulah, kemakmuran secara inklusif dan berkelanjutan bisa tercipta,” tuturnya.
Bamsoet menjelaskan bahwa sistem perekonomian Indonesia yang dirancang oleh para pendiri bangsa, bukanlah sistem ekonomi kapitalis, dimana individu dan pasar menjadi dominan menentukan perilaku ekonomi. Bukan pula sistem ekonomi sosialis, di mana negara menjadi dominan sebagai pelaku ekonomi. “Sistem perekonomian kita adalah Ekonomi Pancasila, yakni pengelolaan ekonomi negara yang bersumber pada nilai-nilai yang mengedepankan religiusitas, humanitas, nasionalitas, demokrasi, dan keadilan sosial,” jelasnya.
Menurut Bamsoet, sistem ekonomi Pancasila yang diwariskan pendiri bangsa, hanya bisa dijalankan secara penuh dan konsisten, bilamana Indonesia memiliki apa yang disebut Presiden Soekarno sebagai “kemampuan untuk berdiri di atas kakinya sendiri“ (berdikari). “Presiden Soekarno berpesan, bangsa Indonesia jangan mau menjadi “bangsa kuli” dan menjadi ”kuli bangsa-bangsa lain”. Presiden Jokowi dalam suatu kesempatan pernah menyampaikan, kita tidak boleh menjadi bangsa yang masih bermental ”inlander” dan bersikap ”inferior” ketika berhadapan dengan bangsa lain,” sebutnya.
Untuk tidak menjadi “bangsa kuli” dan menjadi ”kuli bangsa-bangsa lain”, tidak bermental ”inlander” dan bersikap ”inferior”, lanjut Bamsoet, Indonesia tidak boleh hanya dijadikan sebagai sumber bahan baku murah oleh negara-negara industri-kapitalis. Tidak boleh hanya dijadikan sebagai “pasar“ untuk menjual produk-produk hasil industri negaranegara industri-kapitalis, serta sebagai tempat memutar kelebihan kapital dari negara-negara industri maju.