“Hutang Lunas Masih Diperkarakan, Nasabah BPRS Cari Keadilan di Jamwas ?!”

Pangkalpinang — Nasabah Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah ( PT. BPRS ) Bangka Beltung, IS melayangkan pengaduan ke Kejaksaan Tinggi dan Jamwas Bangka Belitung untuk mencari keadilan atas persoalan pinjaman yang ia alami, di Kantor Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung Pangkalpinang, Selasa ( 6/9/2022 ).

Maksud dan tujuan IS mengadukan perkara wanprestasi atau cidera janji akad pembiayaan murabahah antara dirinya dengan PT. BPRS Bangka Belitung. Persoalan tersebut sudah selesai dan berakhir dengan perdamaian kedua belah pihak, namun Kejaksaan Negeri Bangka Barat masih terus memperpanjangnya.

Kuasa Hukum IS, Dharma Illahi mengatakan, perkara tersebut telah diselesaikan di sidang Pengadilan Agama Mentok pada Jum’at 12 Agustus 2022 lalu.

Pihaknya terpaksa menggugat BPRS karena menolak permohonan pelunasan hutang kliennya sebesar Rp232.884.138.

“Kami sudah menempuh berbagai cara agar klien saya bisa membayar hutangnya, namun selalu ditolak, baik oleh Direktur PT. BPRS. Bahkan kita sudah ke Dewan Pertimbangan Syariah pun tidak mendapat tanggapan,” ujar Darma di Pangkalpinang.

Setelah menemui jalan buntu dimana – mana, maka IS menempuh jalur hukum menggugat PT. BPRS di Pengadilan Agama Mentok agar menerima pelunasan hutangnya.

Dharma mengatakan perkara tersebut berakhir dengan perdamaian antara Penggugat IS dan Tergugat PT. BPRS Babel di depan Hakim Pengadilan Agama Muntok, Hermanto.

Dikutip dari Sistem Informasi Pelayanan Publik ( SIPP ) Pengadilan Agama Mentok, putusan hakim adalah sebagai berikut:

  1. Menerima dan Mengabulkan seluruh  Penggugat seluruhnya;
  2.  Menyatakan Mengikat dan Sah demi hukum Perjanjian Nomor     0165/BSB/CAB.PKP.MNK/MRB/V/2017 tertanggal Dua Puluh Empat Bulan Mei Tahun Dua Ribu Tujuh Belas (24-05-2017) ;
  3. Menetapkan Tergugat telah melakukan ingkar janji atau wanprestasi dengan tidak melaksanakan menerima permohonan Pelunasan dan Potongan ( Muqasah); 
  4. Menetapkan hutang Penggugat kepada Tergugat sebesar Rp. 232.884.138,- (Dua Ratus Tiga Puluh Dua juta Delapan Ratus Delapan Puluh Empat Ribu Seratus Tiga Puluh Delapan Rupiah);
  5. Menghukum Tergugat untuk menerima Pelunasan dan Potongan (Muqasah) Pembiayaan Nomor Perjanjian 0165/BSB/CAB.PKP.MNK/MRB/V/2017 sebesar Rp. 232.884.138,- (Dua Ratus Tiga Puluh Dua juta Delapan Ratus Delapan Puluh Empat Ribu Seratus Tiga Puluh Delapan Rupiah) dari Penggugat;
  6. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 500.000,- (Lima Ratus Ribu Rupiah) untuk setiap keterlambatannya di dalam memenuhi kewajibannya;
  7. Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu walau ada banding dan kasasi serta verzet.
  8.  Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara.

Dalam Pasal 6 Perjanjian Perdamaian kedua belah pihak di PA Mentok menyatakan, tentang perjanjian perdamaian ini dan segala akibat para Pihak memilih tempat kedudukan hukum yang sah dan tidak berubah di Pengadilan Agama Mentok

Bilamana semua persyaratan dan kewajiban masing – masing pihak dengan ini berjanji dan mengikatkan diri untuk tidak akan saling melakukan upaya hukum apapun.

Karena telah terselesaikannya permasalahan ini secara damai, maka para pihak menyatakan bahwa segala sesuatu yang menyangkut semua permasalahan di antara para pihak menjadi terselesaikan tanpa ada pengecualian apapun dan menyatakan Perjanjian Perdamaian ( Dading ) ini sama dengan upaya hukum terakhir sehingga tidak akan ada lagi upaya hukum lain.

Namun kata Dharma, setelah persoalan tersebut selesai di PA, perkara ini masih terus berlanjut di Kejari Bangka Barat yang masih tetap ingin memproses dugaan perkara pidananya. Padahal sejatinya perkara ini hanya persoalan hutang piutang.

“Walaupun hutangnya telah lunas sepenuhnya lengkap dengan marginnya, tapi klien saya masih dipanggil Kejari Bangka Barat terkait dugaan tindak pidana korupsi, padahal kasus ini perdata bukan pidana. Karena itu klien saya mengajukan pengaduan ke Jamwas dan Kejati Babel untuk mencari keadilan atas perkara yang ia alami,” jelas Darma.

Menurut Dharma seharusnya persoalan ini selesai karena kliennya sudah melakukan kewajibannya melunasi pinjaman dan diperkuat dengan putusan PA Mentok.

“Karena Kejari Bangka Barat masih ingin memperpanjang persoalan ini, maka kliennya saya mengajukan pengaduan ke Jamwas dan Kejati Babel. Kita berharap ditindaklanjuti dan klien saya bisa mendapatkan keadilan dengan mengedepankan asas Restorative Justice dan hati nurani. Dalam hal ini kan tidak ada lagi pihak yang dirugikan karena pinjaman murabahah sudah lunas bahkan BPRS sudah mendapatkan untung dari pinjaman tersebut,” ungkap Darma.

“Seharusnya dengan adanya perdamaian ini kami mengharapkan agar pihak BPRS juga bisa mencabut laporannya ke pihak Kejari Bangka Barat. Dan itu lah merupakan bentuk itikad baik dari perdamaian ini,” sambung Dharma.

Dia menambahkan, terkait sertifikat yang merupakan agunan dari pembiayaan ini juga hingga kini belum diterima oleh kliennya.

“Maka berangkat dari hal tersebut dengan ini kami menunggu itikad baik dari pihak BPRS untuk mengupayakan sertifikat yang merupakan agunan pembiayaan ini bisa diserahkan kepada klien kami,” tegas Darma.

Mengutip dari Studi Kasus Perkara Nomor 175/Pdt.G/2016/PA.Tmk di Pengadilan Agama Kota Tasikmalaya yang ditulis oleh Suryati Dzuluqy, penyelesaian sengketa ekonomi syariah merupakan kompetensi dan kewenangan Pengadilan Agama berdasarkan Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, serta ditegaskan kembali dalam Pasal 55 ayat (1) Undang Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyatakan, apabila terjadi sengketa di bidang perbankan syariah, maka penyelesaian sengketa diajukan ke Pengadilan Agama. Dalam hal ini Pengadilan Agama mempunyai hak dan wewenang untuk menerima, mengadili dan menyelesaikannya.

(Amri)