Oleh : M. Nur Rizalman Sitompul
Sumut.Ginews tv investigasi com -Terhitung satu minggu setelah Jumat 30 Desember 2022 Presiden Jokowi meresmikan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Perppu yang dikeluarkan untuk menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang menurut MK dinyatakan inkonstitusional pada November 2021.
Dalam proses berjalannya penyusunan hingga pengundangan peraturan mengenai Cipta Kerja ini banyak problem-problem yang bisa kita temui. Sedikit diantaranya, UU Ciptaker dinilai tidak pro terhadap buruh, kemudian dalam proses penyususunannya juga mengabaikan asas keterbukaan, banyaknya salah ketik juga mengabaikan asas kecermatan, hingga sampai uji materiil pun di MK UU ini berakhir dengan inkonstitusional bersyarat.
MK menilai bahwa UU Cipta Kerja yang menggunakan metode Omnibus Law tidak jelas, apakah metode tersebut merupakan pembuatan UU baru atau melakukan revisi.
Akibatnya pemerintah dalam hal ini sebagai pengusul Undang-Undang diberikan waktu selama 2 tahun untuk melakukan revisi. Namun yang terjadi diluar nalar seluruh masyarakat Indonesia. Pemerintah seperti mau mengambil voucher akhir tahun. Tidak ada angin dan hujan tiba-tiba menerbitkan Perppu untuk menggantikan UU Ciptaker yang gagal di MK.
Benar, Perppu adalah salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang menjadi otoritas Presiden. Materi muatannya sama dengan materi muatan Undang-Undang. Bedanya, Perppu diterbitkan dalam keadaan hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Pembentukan Perppu secara subjektivitas adalah kewenangan presiden mengikuti Pasal 22 UU 1945.
Dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 ukuran objektif penerbitan Perppu ada tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa ; 1) Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; 2) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; 3) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Dalam kondisi Negara saat ini kita melihat Indonesia dalam keaadaan aman. Dalam artian tidak ada perang atau kegaduhan besar yang terjadi dan tidak juga dalam situasi bencana besar nasional yang dapat mengganggu kondisi sosial ekonomi masyarakat sehingga menjadi alasan sebagai kegentingan yang memaksa. Sehingga secara objektif berdasarkan putusan MK, pembuatan Perppu oleh pemerintah tidaklah tepat.
Mengutip investor.id, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto berkelakar bahwa diterbitkannya Perppu tentang Cipta Kerja oleh Presiden sebagai kebutuhan mendesak. Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global, baik yang terkait ekonomi dalam menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, dan ancaman stagflasi. Jika ini yang menjadi dasar hal ihwal kegentingan yang memaksa untuk dikeluarkannya Perppu tentang Cipta Kerja, maka pemerintah harus bertanggung jawab besar atas alasan tersebut sebagai subjektivitas Presiden sebagai Negara hukum yang demokratis.
Kemudian ada sedikit skeptis yang muncul menganggap penerbitan Perppu bisa saja bukan karena hal yang disampaikan Airlangga Hartarto. Malah jika kita berbicara investasi besar nasional yang juga menjadi materi dalam Perppu Cipta Kerja, bisa saja penerbitan Perppu sebagai langkah politis untuk kepentingan oligarki semata.
Apalagi kalau benar-benar tidak dikawal dengan baik, jangan-jangan Perppu yang dibuat hanya untuk kepentingan segolongan kelompok saja. Salah satunya yaitu untuk para investor, sesuai dengan pasal 4 Perppu No. 2 Tahun 2022 keraguan kita mengenai investasi bisa saja menjadi langkah mulus untuk para oligarki bekerja dengan alasan kepentingan nasional. Maka sebagai masyarakat harus berhati-hati, waspada, dan mengkawal sehingga menjadi baik terhadap kebijakan pemerintah yang satu ini.
Padahal kita sama-sama tahu peraturan tentang Cipta Kerja ini mulanya dibuat bukan untuk para investor saja, melaikan pemerintah juga harus memperhatikan kelompok lain didalamnya. Ada pekerja dan buruh juga yang harus diperhatikan. Buktinya dari awal saat masih menjadi Undang-Undang hingga terbitnya Perppu para buruh tetap merasa tersudutkan akan aturan ini.
Beberapa muatan aturan-aturan yang dibuat tidak pro terhadap buruh. Kita melihat adanya ketidakadilan terhadap buruh mulai dari persoalan upah minimum, outsourcing, jam kerja, hingga waktu cuti buruh.
Jika memang pemerintah mengikuti amar putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, pemerintah dapat lebih berhati-hati dan mempertimbangkan banyak aspek sehingga jauh dari kontoversial dan mengedepankan asas-asas pembentukan perundang-undangan hingga berujung pada hasil yang baik.
Dengan waktu tersisa sampai pada tanggal 25 November 2023 seharusnya dapat dimanfaatkan dengan benar. Tapi mau bagaimana lagi pemerintah telah mempertontonkan tangan besinya. Dengan praktik seperti ini memungkinkan terjadinya constitusional disobedience, dengan membangkang terhadap konstitusi (putusan MK). Sekali lagi kita harus waspada. (Suyanto)
Penulis adalah Ketua Umum HMI Komisariat Fakultas Syari’ah dan Hukum (FSH) UINSU Medan.