“IMPLEMENTASI PANCASILA DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN SEBAGAI DASAR IDEOLOGI NEGARA”

GIN JATIM JEMBER
Kilas balik sejarah meneguhkan fakta bahwa eksistensi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak terlepas dari peran kunci tokoh nasional dari Jember yaitu KH Achmad Shiddiq.

Dalam arena Muktamar NU 1984 yang juga menjadi tonggak sejarah kembali ke Khittah 1926, dimana NU menegaskan diri sebagai organisasi sosial keagamaan sesuai amanat pendirian organisasi pada 1926, bukan lagi sebagai organisasi politik praktis.

Keputusan ini didasarkan argument-argumen logis dan akademis terhadap paradigma, gagasan dasar dan konsep hubungan Islam dan Pancasila.
Dalam konteks ini Kiai Achmad Shiddiq menjelaskan secara gamblang Pancasila sebagai azas dalam sudut pandang teologis.
Dalam penjelasannya KH Achmad Shiddiq menyatakan bahwa :
Dalam Islam azas yang mutlak asasi hanyalah Ikhlas dan taqwa sehingga Umat Islam dapat mencukupkan diri dengan azas ikhlas dan taqwa dalam amal ibadah dan amal perjuangannya.

Pancasila merupakan ideologi dan dasar negara yang menjadi azas bangsa Indonesia.
Hubungan Islam dan Pancasila bukan berarti mensejajarkan Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi.
Islam yang dicantumkan sebagai azas dasar itu adalah Islam dalam arti ideologi, bukan Islam dalam arti agama. Ini bukan berarti menafikan Islam sebagai agama, tetapi mengontekstualisasikan Islam yang berperan bukan hanya jalan hidup, tetapi juga sebuah ilmu pengetahuan dan pemikiran yang tidak lekang seiring perubahan zaman.
Sehingga menerima Pancasila sebagai satu-satunya azas memberi makna bahwa kontekstualisasi Islam dalam bernegara dapat diwujudkan melalui penyelenggaraan Negara yang konsisten mewujudkan kemakmuran dan keadilan social sebagaimana cuplikan pidato KH Achmad Shiddiq berikut : “Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nation (bangsa), teristimewa kaum muslimin, untuk mendirikan negara (kesatuan) di wilayah Nusantara. Para Ulama dalam NU meyakini bahwa penerimaan Pancasila ini dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial.”

Sebagai ideologi terbuka Pancasila menyiratkan bahwa nilai-nilai dasar Pancasila diharapkan dapat berkembang dan membentuk dasar perumusan kebijakan pemerintah sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat dan bangsa untuk mencapai tujuan negara . Namun dalam prakteknya Pancasila seringkali kehilangan esensinya, karena setiap penyelenggara pemerintahan senantiasa membangun wacana sendiri tentang esensi makna Pancasila, yang disesuaikan dengan kepentingan politiknya. Bahkan sejak era pemilihan langsung dari Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota, seolah para pemimpin tersebut seperti memiliki otoritas untuk menafsirkan sendiri esensi Pancasila dalam ruang lingkup kewenangan wilayah dan masa pemerintahannya.

Sejak era pasca 1998, dan diikuti dengan pemilihan Presiden dan Kepala Daerah secara langsung, Indonesia terjebak dalam negara “Pancasila” yang berkedok Kapitalisme Liberal. Penerapan kebijakan pemerintahan neoliberal pada semua tingkatan tidak pernah dipertanyakan, apakah sesuai atau tidak dengan nilai-nilai Pancasila. Meskipun kemudian, masalah otoriterisme gaya baru dan korupsi gaya baru di era liberal muncul, sekali lagi nilai dan makna Pancasila kembali diinterrpretasikan untuk mengadaptasi sistem kapitalisme liberal saat ini.

Metode koalisi antara eksekutif dan partai politik di legislatif ditambah dengan dukungan “politik” dari pemegang modal kapitalis melahirkan koalisi untuk mengamankan kepentingan masing-masing, sebagai akibatnya kekuasaan yang dipilih langsung oleh rakyat menjadi tidak efektif dalam menjamin kesejahteraan rakyat karena konflik kepentingan pemerintah dengan kepentingan kapitalis yang telah mendukungnya.

Pada tingkat nasional dan regional karena besarnya nilai modal proses politik kandidat pemimpin eksekutif, peran oligarki sebagai pemodal tidak terelakkan, sementara pada tingkat lokal mayoritas kandidat adalah mereka yang memiliki modal finansial yang cukup yang seringkali direpresentasikan dari kalangan pengusaha sukses atau birokrat yang sukses memanfaatkan kewenanganya untuk mengumpulkan modal guna meraih kekuasaan yang lebih besar.
Kondisi ini menunjukkan bahwa esensi sila ke empat Kerakyatan yang dipimpin oleh HIKMAT KEBIJAKASANAAN dalam permusyawaratan/Perwakilan menghilang, seiring hilangnya kontrol efektif para wakil rakyat terhadap eksekutif.
Kalau sudah demikian lalu kepada siapa masyarakat berharap konsep dan implementasi keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia?
Ideologi sesungguhnya merupakan suatu gagasan atau ide yang memiliki pemikiran mendasar (asas).

Karakteristik sebuah pemikiran Ideologi adalah memiliki pemikiran mendasar (asas), pemikiran yang rasional dan pemikiran yang memancarkan sistem sebagai problem solving yang bersumber dari asas pemikirannya. Ideologi memberi legitimasi (dasar hukum atau keabsahan) bagi pemerintah untuk menjalankan fungsinya.
Sebagai sumber legitimasi Pancasila wajib diimplementasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan karena fungsi pemerintahan adalah satu-satunya yang diamanahi untuk mewujudkan kesejahteraan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya semua tingkatan pemerintahan yang telah diamanahi rakyat berdasar proses dan ketentuan yang telah digariskan dalam peraturan pelaksanaannya yang keseluruhannya bersumber dari nilai-nilai Pancasila wajib mengimplementasikannya dalam semua segi kebijakan, program dan praktek penyelenggaraan Pemerintahannya.

Pertanyaannya …?
Sudahkan Negara kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini benar2 melaksanakan penerapan butir2 Pancasila dalam penyelenggaraan negara …?
Pungkasnya. Gus jaddin

Pewarta. Mastuki