ATAS NAMA DEWI KEADILAN
Denny JA
(Sebelum Agustus 1945, suku Dayak di Kalimantan mengobarkan perang kepada Jepang, yang telah membunuh ribuan pekerja Romusha. Ampong ikut dalam perlawanan tersebut)
-000-
Pagi itu, di tepi sungai Kapuas,
Juli 1945, Ampong duduk gelisah.
Dilihatnya berkali-kali mandau, sejenis parang panjang, suku dayak.
Ada bekas darah di Mandau itu,
jejak tentara Jepang yang dibunuhnya.
Tapi Pang Suma, pimpinan suku dayak, tertembak dan mati.
Jiwa Ampong bergolak.
Tiup angin terasa olehnya membawa bau amis ribuan pekerja Romusha yang mati merana.
Dari belukar dan semak,
dirasakannya roh puluhan para tetua suku dayak, dari ratusan tahun lalu, melayang ke udara, menjelma bayangan raksasa, tak henti-henti memujinya.
Ampong melayang ke masa beberapa tahun lalu.
Ayah mewariskan mandau ini padanya dengan pesan:
gunakan pusaka turun temurun ini dengan bijaksana.
Ayah peroleh ini dari kakek.
Kakek dapat ini dari buyut.
“Kau juga harus wariskan ini pada anakmu kelak.
Itu tradisi.”
“Tapi Nak,
hanya gunakan ini untuk melawan kelaziman.
Mandau ini dibuat oleh Dewi Keadilan.”
Ampong sebenarnya anti kekerasan.
Seorang guru dari India banyak mempengaruhinya.
Tapi tentara Jepang ini sudah keterlaluan.
Kepala suku sudah bicara.
Jepang sudah bunuh 1.000
orang di Mandor,
membantai 240
orang di Sungai Durian,
dan menghilangkan nyawa 100 orang di Ketapang.
Ampong teringat dua bulan lalu.
Lima orang dengan langkah gontai, keluar dari hutan.
Badannya seperti tengkorak.
Mereka pekerja Romusha yang melarikan diri.
Semua dari Jawa.
Suku Dayak menampung.
Mereka cerita ratusan pekerja paksa Romusha dari Jawa,
mati merana.
Mereka disiksa,
dipecut, dipopor,
agar kerja gesit di kilang minyak.
Padahal makan kurang.
Minum kurang.
Pekerja paksa tidur di barak yang kotor.
Banyak nyamuk malaria.
Lihatlah 80 ribu orang Jawa dipaksa kerja di Kalimantan.
Puncak kemarahan Ampong,
ketika kekasihnya menangis.
Mandor usaha kayu Jepang, bernama Osaki, ingin menikahinya.
Jika tidak, Ayahnya dibunuh.
Ampong mengadu kepada Pang Suma, pimpinan suku dayak.
Osaki pun dibunuh. (1)
Pang Suma juga membakar pabrik kayu Jepang.
Pang Suma kini dicari tentara Jepang untuk dibunuh.
Maret-Juni 1945,
perang Dayak melawan
Jepang berkobar.
Pang Suma memberi semangat:
“Ketidakadilan harus dilawan.”
Perang berkecamuk,
terutama di kabupaten Sanggau.
Dengan senjata sederhana,
awalnya Pang Suma menang.
Tapi akhirnya, Pang Suma tertembak dan mati.
Ampong masih ingat.
Ia ikut menemani Pang Suma ketika menghembus nafas terakhir.
Pang Suma berjasa padanya.
Itu pesan terakhir Pang Suma:
“Kita mungkin kalah.
Tapi keadilan yang kita bela,
tak pernah kalah.”
Ampong menangis,
Ia ikut mengubur jasad Pang Suma.
Ampong merasa bersalah.
Apakah ia ikut menjadi penyebab Pang Suma memerangi tentara Jepang?
Tujuh puluh dua tahun kemudian,
di tahun 2017,
kini Dehen yang duduk di pinggir sungai Kapuas.
Dehen itu cucu sulung Ampong.
Di sisi Dehen, mandau itu, tergeletak.
Ini mandau yang sama,
yang dipakai Ampong, kakeknya, melawan dan membunuh tentara Jepang.
Dehen melirik berkali-kali Mandau itu.
Ujar Dehen, “aku hidup di zaman yang berbeda.
Aku tak lagi bertarung dengan Mandau.”
Diambilnya keputusan.
Dehen ingin memutus mata rantai kekerasan.
Dehen segera melempar Mandau itu ke sungai Kapuas.
“Biarlah kau mandau terkubur bersama kekerasan masa lalu,
ke dalam sungai Kapuas.”
Ketika Dehen mengayunkan mandau, ia terkaget.
Sekelebat di mandau itu,
terlihat wajah Ampong, kakeknya.
Terdengar suara di batinnya:
“Jangan tinggalkan aku.”
Terkaget Dehen.
Dilihatnya mandau itu berkali-kali.
Kembali Dehen merenung lama.
Dibatalkannya membuang mandau.
Ia bawa pulang mandau itu.
Nanti ia wariskan kepada anaknya.
Dari rawa-rawa,
dari semak-semak,
Dehen seolah melihat roh ratusan tetua suku dayak, dari ratusan tahun lalu, menjelma menjadi bayangan raksasa,
memujinya.
Berterima kasih padanya***
Jakarta 12 Mei 2024
CATATAN
(1) Perlawanan rakyat Kalimantan di bawah Pang Suma tercatat di banyak dokumen sejarah. Salah satunya di berita: