Berita  

Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (13) : NYAI ASIH IKUT KE BELANDA

NYAI ASIH IKUT KE BELANDA

(Di era penjajahan Belanda, sebelum tahun 1942, banyak gadis pribumi dipaksa bekerja sekaligus menjadi gundik, istri tak resmi Tuan Belanda. Ketika Jepang mengalahkan Belanda, banyak Tuan Belanda yang pulang ke negerinya. Umumnya para gundik, yang disebut Nyai, ditinggal begitu saja. Tapi ada Nyai yang ikut dibawa serta ke Belanda).

-000-

Tahun 1956, di pemakaman Zorgvlied, di Amsterdam, Belanda, Nyai Asih merenung.
Berjam-jam ia di sana.

Sebulan sudah Tuan Belanda, Arthur, meninggal.
Tiap hari Asih datang.
Tapi kali ini kedatangannya berbeda.

Dibisikannya di kuburan itu,
“Tuan Arthur, ini kedatanganku yang terakhir.
Maafkan jika ada kesalahanku.
Kesalahanmu sudah aku maafkan.”

Asih menangis.
Air mata ditahannya.
Tapi ribuan jarum menancap di ulu hati.
Air mata justru makin tumpah,
membawa duka, luka, derita, sepi, lara.

Dipandangnya kuburan itu,
kuburan lelaki yang sudah dilayaninya 26 tahun.

Angin membawanya ke masa lalu, masa yang jauh di sana.

Cimahi, 1930.
Usia Asih baru 16 tahun.

Asih kabur dari rumah.
Ia melawan kehendak Ayah.
Tiga hari lamanya, Asih tinggal di rumah nenek.

Tapi Asih tak tega.
Ia mendengar ibu sakit.
Ayah semakin dililit hutang.

Asih pun pulang.
Oleh Ayah, ia dijual ke Tuan Belanda, bernama Arthur.
Hutang dianggap lunas.

Asih menjadi pembantu,
sekaligus gundik,
istri yang tak pernah dinikahi,
melayani Tuan Belanda,
pagi, siang, dan malam.

Di luar dugaannya,
Tuan Belanda ini baik hati.
Ia tentara KNIL,
tapi juga seorang penulis.

Ketika Jepang datang,
Tuan Arthur pulang ke Belanda.
Berbeda dengan para Nyai lain,
Asih dibawa Arthur ikut serta.

Di Belanda, Nyai Asih tinggal di sepetak rumah.
Kadang Arthur datang bermalam.

Diketahuinya,
Arthur seorang katolik.
Ia sudah punya istri,
punya anak.

Arthur sudah tak akur dengan istri.
Sejak lama.
Karena agama,
ia tak bisa cerai dengan istri.

Arthur memang menyayanginya.
Terasa.
Tapi Asih merasa sepi.
Terasa.
Istri dan anak Arthur memusuhi.
Terasa.
Asih sendiri tak punya anak.

Keluarga besar Arthur menganggapnya rendah.
Tetangga di sana,
melihatnya bangsa inlander,
kelas bawah, tak berbudaya,
sampah.

Asih bertambah sedih.
setelah Arthur meninggal.
Anak Arthur memutuskan.
“Rumah ini akan dijual.
Kau harus pindah.
Terserah, pergi ke mana.”

Di tahun itu, tahun 1956,
usia Nyai Asih tak lagi
muda, 42 tahun.
Ia tak punya apa-apa.

Asih pun pulang ke Cimahi, Jawa Barat.
Ia bertambah sedih.
Tetangga, dan keluarganya sendiri,
menganggapnya kotor.

Karena tak menikah,
ia dianggap berzinah sepanjang masa,
dengan penjajah pula,
dengan kafir pula.

Di Cimahi,
juga di Amsterdam,
sama saja.
Asih ditolak,
dijauhi,
dianggap kuman, membawa sial.

Sore itu, di kuburan Ayahnya,
Asih menangis,
dan protes.

“Abah, abah,
aku susah sekarang.
Mengapa, Abah..
Mengapa dulu Abah tega menjual aku?
Tolong aku, Abah.”

Suara angin di kuburan itu,
seperti bunyi suling,
mengalunkan lagu,
kisah seorang perempuan, tak berdaya,
luka di batin,
patah di akar,
meminta untuk mati saja.

Pohon kamboja di kuburan itu,
bergoyang ditiup angin,
suara daun dan ranting berderai-derai.

Lewat pohon kamboja itu,
Asih merasa Ayahnya datang.
Meminta maaf.
Terasa.
Menyesal.
Terasa.

Ayah tak membayangkan,
Asih terbuang seperti itu.
Lewat derai pohon kamboja,
Ayahnya menangis.
Terasa.

Di makam Ayah,
juga di makam Ibu,
Asih sekaligus pamit.
Ia harus pergi dari Cimahi.

Entah ke mana.
Tapi ke tempat, yang tak mengenalnya.
Asih akan mengganti nama,
mengganti identitas,
berpura-pura,
menjadi perempuan yang berbeda.***

Jakarta, 20 Mei 2024.

(1) Tak semua Nyai, gadis simpanan ditinggal oleh Tuan Belanda. Ada pula yang dibawa serta ke Belanda.

Detikcomhttps://www.detik.com › … › BeritaNyai Itih, Gundik Asal Cimahi yang Buat Jurnalis Belanda Tergila-gila