Berita  

Denny JA Terbitkan Buku Puisi Esai Ke- 6 : SISI GELAP SEJARAH KEMERDEKAAN

Rangkuman Berita

Denny JA Terbitkan Buku Puisi Esai Ke- 6

SISI GELAP SEJARAH KEMERDEKAAN

Jakarta, 23 Juni 2023

Denny JA, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena, penerima penghargaan sastra luar dan dalam negeri, menerbitkan buku puisi esai terbarunya: “Yang Tercecer di Era Kemerdekaan,” (Juni 2024).

Ujar Denny, “Sejarah akan lebih mudah diingat dan menyentuh hati jika ia disampaikan lewat kisah-kisah. Maka yang akan muncul di sana tidak hanya data mengenai tokoh, tempat, dan peristiwa, tapi juga drama, gejolak-gejolak emosi.”

“Karena itulah, saya memilih menggali sejarah di era kemerdekaan dan menyampaikannya dalam bentuk puisi esai.”

“Ini cara bertutur yang menggabungkan fakta yang terjadi dalam sejarah, tapi ditambahkan fiksi, dibuatkan drama tambahan. Ramuan itu membuat kisah sejarah atau true story lebih menyentuh hati dan lebih mudah diingat.”

Demikian dikatakan Denny J.A, mengantar buku puisi esainya yang keenam: Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (Juni, 2024). Buku itu ujar Denny bisa dibaca siapapun melalui Link: https://www.facebook.com/share/p/F5gocW8BM5mouraJ/?mibextid=K35XfP

Denny menggali kisah-kisah di balik peristiwa kemerdekaan tahun 1945, lebih kepada sisi gelapnya. Mulai dari kisah puluhan ribu gadis pribumi yang dipaksa untuk menjadi perempuan penghibur bagi tentara Jepang.

Juga ada kisah mengenai Romusha, yaitu para pemuda Indonesia umumnya, yang dibujuk untuk menjadi tenaga yang bekerja secara paksa, yang nyaris sama seperti budak.

Mereka begitu menderita karena kurangnya fasilitas yang diberikan. Banyak dari mereka yang kemudian mati secara merana.

Juga kisah mengenai para gadis pribumi yang menjadi pembantu rumah tangga, sekaligus juga menjadi gundik atau istri yang tak dinikahi bagi tuan-tuan Belanda.

Denny JA sendiri menyelami dilema moral yang dihadapi Bung Karno saat itu sebagai seorang pemimpin di era kemerdekaan.

Ia paham, pastilah Bung Karno sangat ingin sekali Indonesia merdeka. Tapi apa daya saat itu Jepang yang berkuasa. Jepang baru saja mengalahkan Belanda.

Bung Karno punya pilihan bekerja sama dengan Jepang melawan tentara sekutu. Bung Karno meyakini Jepang nantinya membantu Indonesia untuk menang.

Karena harapan itu, Bung Karno membantu Jepang mendapatkan tenaga kerja Indonesia yang banyak bagi aneka programnya. Salah satunya adalah program untuk memobilisasi tenaga kerja.

Bung Karno mengakui sendiri ia ikut memobilisasi pemuda-pemuda Indonesia untuk mau bekerja sebagai romusha. Ia berfoto untuk itu. Bung Karno juga berkampanye agar program itu sukses.

Bung Karno tidak menyangka ternyata pemuda-pemuda yang bekerja bagi Jepang itu menderita, dengan sangat menyedihkan. Tersiksa. Terhina.

Banyak dari mereka dikirim bertumpuk-tumpuk di kereta api, yang pengap. Lalu sebagian mati di kereta api. Mayatnya pun dibuang di jalan.

Banyak dari mereka juga yang dikirim ke luar negeri naik kapal laut berdesakan. Tanpa makanan yang cukup. Tanpa fasilitas kesehatan yang memadai.

Banyak pula yang mati di kapal. Mayatnya pun dibuang ke laut.

Sementara banyak pula yang bekerja di luar negeri ataupun bekerja di luar Jawa sana. Mereka mati karena kelaparan, atau penyakit yang tak diobati. Atau badan mereka kurus kering, tinggal tulang belulang saja diselimuti hanya oleh kulit.

Foto dari mereka yang bekerja di romusha ini pun masih bisa kita lihat di Google. Bung Karno mengakui betapa ia sangat sedih. Ia tidak menyangka dan menyesal dengan kondisi rakyat Indonesia yang sempat ia sendiri mobilisasi.

Tapi ini tidak hanya sekedar soal romusha, Denny J.A. juga menggali kisah-kisah gadis muda Indonesia. Mereka sebagian besar tertipu dijadikan gadis penghibur tentara Jepang.

Mulai dari kisah Mardiem misalnya, yang saat itu usianya 13 tahun. Ia dibujuk untuk bekerja di Kalimantan menjadi penyanyi di sana. Itu idaman Mardiem sejak lama menjadi bintang panggung.

Namun Mardiyem kaget sekali ketika sampai di Kalimantan. Ia dimasukkan di kamar yang kecil. Ia dipaksa melayani tentara Jepang. Ia diperkosa katanya sehari kadang-kadang sampai 10 dan sampai 15 tentara Jepang.

Ia alami ini bertahun-tahun. Itu dialami juga tidak hanya oleh Mardiem tapi oleh ribuan gadis pribumi Indonesia lainnya.

Sebelum Jepang pun banyak gadis pribumi yang juga mengalami hal serupa. Tapi yang ini terjadi di rumah-rumah tuan Belanda.

Umumnya para lelaki Belanda ketika datang ke Indonesia, menjajah Indonesia, mereka tidak membawa istri. Mereka menjadikan banyak gadis pribumi sebagai pembantunya.

Namun dalam perjalanan, pembantunya ini pun dijadikan sebagai gundiknya, sebagai sejenis istri tapi tidak dinikahi secara resmi. Mereka dijadikan nyai.

Para nyai ini beranak-pianak. Tapi nyai atau gundik ini tidak punya hak atas anak-anak yang dilahirkannya. Banyak dari anak anak mereka pun akhirnya diambil oleh tuan Belanda dan dibawa ke negerinya.

Ini kisah-kisah yang kelam di era kemerdekaan dan diangkat oleh Denny J.A. dalam puisi esainya.

-000-

Tapi apa itu puisi esai? Denny JA menjelaskan. Puisi esai yang digagasnya itu merupakan inovasi cara bertutur.

Ketika kita ingin menuliskan kisah sejarah atau true story misalnya, kisah itu bisa dibuatkan dalam bentuk makalah ilmiah. Atau kisah itu bisa dibuatkan reportase jurnalisme. Kedua cara bertutur ini harus bersandar pada fakta.

Denny JA mengembangkan cara lain bahwa kisah true story itu, yang acap kali dramatis, itu bisa diekspresikan dalam bentuk puisi esai.

Sebagai puisi esai, elemen fiksi begitu kokoh. Sementara elemen fakta disampaikan lewat catatan kaki yang sentral dalam puisi esai.

Benar itu peristiwa terjadi. Benar itu terjadi di tahun dan tempat tertentu. Tapi dihadirkan di sana drama yang fiksi, agar peristiwa itu lebih mudah diingat, lebih dramatis, dan lebih menyentuh hati.

Di tahun 2024, Denny J.A. menerbitkan dan mempublikasi buku puisi esainya yang ke-6. Judulnya, “Yang Tercecer di Era Kemerdekaan.”

Sebelumnya, Danny J.A. juga sudah pernah menerbitkan 5 buku puisi esainya lainnya.

Pertama adalah “Atas Nama Cinta,” yang terbit di tahun 2012. Buku ini menggali dan merekam suasana diskriminasi yang masih dirasakan publik luas setelah reformasi.

Link: https://www.facebook.com/share/p/LK7yCaQC9TLvhhvj/?mibextid=K35XfP

Mulai dari diskriminasi yang sifatnya agama, diskriminasi gender, diskriminasi etnik, dan juga diskriminasi orientasi seksual. Inilah buku puisi esainya yang pertama yang ada. Itu pula awal diperkenalkannya genre puisi esai.

Lalu kedua, Denny J.A. menerbitkan juga buku yang berjudul “Kutunggu di Setiap Kamis,” (2014). Puisi esainya ini menggali kisah orang-orang yang hilang dalam sejarah Indonesia sejak tahun 1965 sampai 1998.

Link: https://www.facebook.com/share/p/JfTtab9T4R6VJiFF/?mibextid=K35XfP

Setiap hari Kamis itu puluhan ibu-ibu, bapak-bapak, laki dan perempuan berdemonstrasi di depan istana negara di Jakarta dengan membawa payung hitam. Mereka mencari keluarga mereka yang hilang. Denny JA pun menggali kisah di balik peristiwa hilangnya seorang aktivis di tahun 1998.

Buku puisi esai Denny JA yang ketiga menggali kisah-kisah yang lebih filosofis. Judulnya Roti Untuk Hati (2015)

Link: https://www.facebook.com/share/p/mFXxdhy5aLyR5X2F/?mibextid=K35XfP

Ini kisah-kisah yang lebih filosofis. Ia menggambarkan perjalanan individu mencari meaning of life. Ia menggali kisah-kisah mengenai agama, seni hidup. Juga mengenai cara individu menemukan arti dan life callingnya.

Buku puisi esai keempat Denny berjudul “Jiwa Yang Berzikir,” (2018). Puisi esai ini lebih menggali ayat-ayat kitab suci Al-Quran. Memang puisi Jiwa Yang Berzikir ini dibuatnya sepenuh bulan Ramadan.

Link: https://www.facebook.com/share/p/316axQos1hxHtnzn/?mibextid=K35XfP

Denny JA mencoba menyusuri 30 juz Al-Quran, mencari apa intisari dari juz itu. Lalu ia padukan dengan kisah-kisah sejarah yang pernah terjadi, tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh negeri.

Buku puisi esainya yang kelima judulnya adalah “Jeritan Setelah Kebebasan,” (2022). Buku ini mengenai aneka konflik primordial yang terjadi setelah reformasi.

https://www.facebook.com/share/p/eQeDxE5ACakEm6r4/?mibextid=K35XfP

Di Maluku, konflik antara Kristen dan Muslim. Di Sampit, perselisihan berdarah antara suku Madura dan suku Dayak.

Di Lampung, konflik antara suku Lampung dan Bali. Di Jakarta terjadi amuk masa terhadap etnik Tionghoa. Sedangkan di Mataram, NTB, kasus pengungsian dari pemeluk agama Ahmadiyah.

-000-

Denny J.A. membandingkan betapa berbeda konteks sosial ketika ia menerbitkan buku puisi esainya yang ke-6 tahun 2024 dibandingkan buku puisi esainya yang pertama, “Atas Nama Cinta,” (2012).

Ketika terbit buku puisi esainya yang pertama, beberapa tahun dari sana terjadi satu gelombang penolakan yang besar sekali. Ini terjadi setelah terbit satu buku yang berjudul “33 Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sastra Indonesia.”

Dalam buku itu, Denny JA dimasukkan di sana sebagai satu dari 33 tokoh berpengaruh di dunia sastra. Denny JA tercatat ke dalam daftar karena ia membawa genre baru puisi esai.

Tapi sekarang, 12 tahun kemudian, ketika Denny J.A. menerbitkan buku puisi esainya yang ke-6, praktis tak ada lagi gelombang penolakan itu. Yang terjadi malah sebaliknya.

Sekarang ini bahkan terjadi festival puisi esai tingkat ASEAN di Malaysia yang dibiayai sepenuhnya oleh kerajaan Malaysia di Sabah. Pada tahun 2024, Festival Puisi Esai ASEAN itu sudah berulang yang ketiga.

Di Indonesia pun sudah muncul komunitas puisi esai se-Indonesia. Juga sudah hadir pula pertemuan festival puisi esai setiap tahun. Itu dimulai di Jakarta 2023 di Taman Ismail Marzuki.

Dengan terbitnya buku ke-6 ini, “Yang Tercecer di Era Kemerdekaan,” Denny J.A. juga memberikan nuansa baru bagi puisi esainya.

Jika sebelumnya, pada tahun 2012 dengan “Atas Nama Cinta,” puisi esainya panjang sekali. Jika dibaca, setiap puisi itu bisa memakan waktu 30-40 menit. Maka pada puisi esainya yang terakhir ( “Yang Tercecer di Era Kemerdekaan”), jika masing- masing puisi dibaca di panggung ini hanya memakan waktu sekitar 5 menit saja.

Buku puisi esainya “Yang Tercecer di Era Kemerdekaan” tahun 2024 ini juga sekaligus disiapkan sebagai puisi esai yang bisa dibacakan di panggung.

“Ketika puisi esainya jenis ini dibacakan, kita tak hanya mendapatkan emosi sebagaimana keindahan dari puisi biasa. Namun juga kita mendapatkan kisah dari sepotong sejarah di Indonesia yang benar-benar terjadi,” Demikian Denny JA. ***