GLOBAL INVESTIGASI NEWS.
Terbongkarnya kasus pencabulan anak dibawah umur sebagai korbannya lima pelajar SMP di kecamatan Darma yang dilakukan seorang dewasa berinisial (M) warga salah satu desa di kecamatan Nusaherang kabupaten Kuningan Jawabarat.
Berawal dari pelaporan pihak kepala sekolah kepada pihak aparat penegak hukum ( APH ) di wilayah hukum kabupaten Kuningan Jawabarat.
hal tersebut dibenarkan salah satu dari lima pelajar yang menjadi korban pencabulan.
Dijumpai R (inisial.red) salah satu korban pencabulan Senin 15/7/2024 kepada awak media di kediamannya menyebutkan,
“benar pencabulan itu pernah terjadi kepada pihaknya dan empat temannya,namun kasus tersebut sudah selesai,karena ia bersama empat korban lainnya sudah pernah menandatangani surat penyelesaian masalah,namun ia tidak tahu apakah pelakunya yang berinisial (M) itu dipenjara atau tidak,”katanya
Terbongkarnya kasus tersebut berawal dari kepedulian pihak kepala sekolah dengan melaporkan kepada kantor Polsek Darma dan di tindaklanjuti ke kantor polres Kuningan.
“ia (R.red) bersama empat korban lainnya pernah mendatangi kantor polres Kuningan guna memberikan keterangan terkait bagaimana kejadiannya,dan identitas pelaku sebenarnya, yang pada awalnya sempat ada salah tangkap orang (pelaku),karena informasi orang dan identitas KTP yang dilaporkan pihak kepala sekolah itu salah.”terangnya R (inisial.red)
Di kesempatan yang sama ibu korban ( R.red) membenarkan Kasus pencabulan yang telah membuat anaknya sebagai korban.
“benar, anaknya menjadi korban,tapi ia tidak banyak tahu soal itu, dan tidak banyak tanya tanya terkait kasus pencabulan terhadap putranya,karena ayahnya yang waktu ikut ke kantor polisi,silahkan tanyakan saja pada ayahnya,tapi ayahnya saat ini tidak ada di sini karena sedang kerja di Kawali,
dan kasus itu sudah membuatnya malu dan meminta agar kasus itu tidak di permasalahkan lagi karena kasus itu sudah selesai.”ujarnya
Di konfirmasi A (inisial.red) ayah korban (R.red) yang pada saat itu sedang tidak ada dirumah karena sedang bekerja di daerah Kawali melalui sambungan telpon WhatsApp nya mengatakan.
“jika ingin mendapatkan informasi yang lengkap silahkan saja menanyakan kepada pihak lurah dan kepala desa karang anyar,dengan alasan karena mereka yang tahu semuanya,dan pihaknya tidak dapat memberikan informasi karena ia (A.red) hanya orang kecil,silahkan tanya sana.”tegasnya
Di tempat berbeda kepala sekolah inisial (A) ,membenarkan bahwa pihaknya lah yang telah mengadukan kasus pencabulan tersebut ke kantor Polsek Darma sekitar pada pertengahan bulan Juni 2024,
“pihaknya mendapatkan laporan sekitar satu bulan yang lalu,dan itu pun dari obrolan yang simpang siur,akhirnya pihaknya mencoba mengklarifikasi masalah yang dimaksud (Tracking),
berdasarkan keterangan dan informasi terkait kronologis kejadiannya dari dua pihak korban yang berinisial (R) dan (F),yang masih menjadi anak didiknya,sementara ketiga korban lainnya sudah lulus dari sekolahnya pada setahun lalu,dan ternyata kejadian tersebut terjadi pada tahun 2023 dan hal tersebut sempat membuat pihaknya kaget dan sedih,
sebagai seorang pendidik pihaknya merasa bertanggung jawab dan mencoba konsultasi terkait pemecahan masalah tersebut ke beberapa pihak di sekolah dan pihak kepala desa setempat,bahkan pihaknya pun sempat mempelajari regulasi kasus yang dimaksud, hingga akhirnya pihaknya melakukan pelaporan ke Polsek Darma,guna mencari solusi dari masalah tersebut.”ungkapnya
Kasus pencabulan tersebut mendapat perhatian khusus dari Bambang L.A Hutapea, S.H.,M.H.,C..Med.selaku kuasa hukum PGRI dinas pendidikan kabupaten Kuningan yang menurutnya kasus pencabulan terhadap anak dibawah umur harus di sikapi dengan srius dan benar sesuai Undang Undang,
Berdasarkan Pasal 1 angka (2) menerangkan bahwa anak berhak mendapatkan perlindungan dari segala kegiatan untuk menjamin agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal yang menjelaskan tentang Kekerasan seksual terhadap anak di atur dalam Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 yang menyatakan:
“setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”
Ancaman Pidana terhadap orang yang melakukan kekerasan persetubuhan terhadap anak di pidana berdasarkan pasal 81 Undang-Undang Perlindungan anak Nomor 35 tahun 2014 yang menyatakan bahwa “pelaku pencabulan anak di bawah umur akan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama adalah 15 (limabelas) tahun serta denda paling banyak Rp5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).
Selain ancaman pidana berdasarkan Pasal 81 UU 35/2014, Adapun Hukuman atas perbuatan tersebut di atur dalam Pasal 82 Perpu nomor 1 tahun 2016, sebagai berikut:
1.Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E UU No.35 tahun 2014 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,- (lima milyar rupiah);
2.Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pad aayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga pendidik, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1;
Berdasarkan Pasal 81 ayat (5) Perpu Nomor 1 tahun 2016 yang berbunyi:
“dalam hal tindak pidana pemerkosaan anak di bawah umur menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguang jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun”
Terhadap pelaku juga dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik serta diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. Hal ini di atur dalam pasal 81 ayat (7) Perpu 1/2016
Selain di dalam Pasal 76E UU nomor 35 tahun 2014, jerat hukum terhadap pelaku cabul juga di atur berdasarkan Pasal 289 KUHP menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
Berdasarkan pasal 287 KUHP menjelaskan sebagai berikut:
“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum 15 tahun, atau kalau umurya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”
Berdasarkan Pasal 419 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 menyatakan bahwa “setiap orang yang menghubungkan atau memudahkan orang lain berbuat cabul atau bersetubuh dengan orang yang diketahui atau patut di duga anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun”
Namun, bagaimana jika penegak hukum (dalam hal ini adalah polisi) tidak mau memproses kasus tersebut?
Bahwa, berdasarkan Pasal 12 Huruf a dan f Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2022, mengatur:
Setiap pejabat Polri dalam etika kemasyarakatan, dilarang:
a.Menolak atau mengabaikan permintaan pertolongan, bantuan, atau laporan dan pengaduan masyarakat yang menjadi lingkup tugas, fungsi, dan kewenangannya
f.mempersulit masyarakat yang membutuhkan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan.
Maka dari itu berdasarkan pasal tersebut sudah sepatutnya Pihak Kepolisian sebagai Penegak Hukum memproses perkara yang menyangkut perlindungan terhadap seseorang.
Apabila polisi mengabaikan dan tidak memproses laporan dengan tidak sesuai dengan ketentuan yang telah diatur, maka tentunya akan dikenakan sanksi.Pejabat Polri yang dinyatakan melanggar Kode Etik Profesi Polri (KEPP) akan dikenakan sanksi berupa sanksi etika dan/atau sanksi administratif.
Adapun Sanksi Etika yaitu terdiri dari:
1.Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela;
2.Perilaku wajib meminta maaf secara lisan di hadapan sidang KKEP dan secara tertulis kepada Pimpinan POLRI dan Pihak yang dirugikan;
3.Pelanggar wajib mengikuti pembinaan rohani, mental dan pengetahuan profesi selama 1 bulan.
Sedangkan sanksi administratif yaitu terdiri dari:
1.Mutasi bersifat demosi minimal 1 tahun;
2.Penundaan kenaikan pangkat paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun
3.Penempatan pada tempat khusus paling lama 30 hari kerja; dan
4.Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH)
Kasus Kekerasan Seksual terhadap anak tidak bisa dilakukan pendekatan Restorative Justice (RJ). Adapun alasan Restorative Justice (RJ) tidak dapat di gunakan dalam Perkara Kekerasan Seksual, yaitu:
1.Memicu trauma saat pertemuan langsung antara korban dan pelaku.
2.Kekhawatiran pelaku akan mengambil kesempatan manipulasi korban untuk menerima dan meminimalkan kekerasan yang dilakukannya;
3.Perasaan beban pada korban untuk memastikan sendiri tindakan reperatif yang telah disepakati akan benar dilakukan oleh pelaku;
4.Sulit untuk menerapkannya secara ideal;
5.Merasa tidak akan ditangani secara serius.
Bahwa, dengan adanya perkara tersebut, maka sudah seharusnya Pihak Pelaku di pidana sesuai dengan yang telah di tentukan berdasarkan Undang-Undang, sebagaimana berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1041K/Pid.Sus/2020 yang menyatakan bahwa pelaku di pidana penjara dan biaya perkara di bebankan kepada pelaku.”menurut Bambang
sampai berita ini diterbitkan awak media belum sempat mengkon firmasi pihak terkait di desa karang anyar sesuai yang diarahkan oleh pihak ayah korban..by..team..way,Lex,Man,De.