Kuningan 3 Agustus 2024.GLOBAL INVESTIGASI NEWS. Bergulirnya dugaan kasus pedofilia terhadap lima siswa SMP di kabupaten Kuningan yang diduga penangananya tidak di proses sesuai hukum yang berlaku oleh pihak aparat penegak hukum (APH) polres Kuningan Jawabarat.
Mendapat sorotan tajam U.Jenggo.ketua Marcab LMPI kabupaten Kuningan.hal tersebut di benarkan penasehat hukum Marcab Kuningan.
melalui Bambang L.A Hutapea, S.H.,M.H.,C..Med.penasehat hukum Marcab LMPI kabupaten Kuningan.sabtu 3 Agustus 2024 di Kuningan.
Dugaan kasus pedofilia terhadap lima siswa SMP di kabupaten Kuningan patut di proses sesuai hukum yang berlaku.
menilai perkembangan informasi di lapangan terkait dugaan kasus yang dimaksud di duga telah bermuara ke kantor aparat penegak hukum ( APH) polres Kuningan namun penangananya diduga diselesaikan dengan menempuh perdamaian antara pihak pelaku dan korban.
dalam hal terebut kami keluarga besar Marcab LMPI kabupaten Kuningan,menegaskan bahwa.
Kasus Kekerasan Seksual terhadap anak tidak bisa dilakukan pendekatan Restorative Justice (RJ).
Adapun alasan Restorative Justice (RJ) tidak dapat di gunakan dalam Perkara Kekerasan Seksual, yaitu:
1.Memicu trauma saat pertemuan langsung antara korban dan pelaku.
2.Kekhawatiran pelaku akan mengambil kesempatan manipulasi korban untuk menerima dan meminimalkan kekerasan yang dilakukannya;
3.Perasaan beban pada korban untuk memastikan sendiri tindakan reperatif yang telah disepakati akan benar dilakukan oleh pelaku;
4.Sulit untuk menerapkannya secara ideal;
5.Merasa tidak akan ditangani secara serius.
Bahwa, dengan adanya perkara tersebut, maka sudah seharusnya Pihak Pelaku di pidana sesuai dengan yang telah di tentukan berdasarkan Undang-Undang, sebagaimana berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1041K/Pid.Sus/2020 yang menyatakan bahwa pelaku di pidana penjara dan biaya perkara di bebankan kepada pelaku.
SANKSI PELAKU PEDOFILIA
Pasal 54 ayat (1) UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan, anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga pendidik, sesama peserta didik dan atau pihak lain.
Berdasarkan pasal 58 ayat 1 uu nomor 39 tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa setiap anak wajib memperoleh perlindungan hukum dari berbagai macam bentuk kekerasan, pelecehan seksual, serta perbuatan tidak menyenangkan.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XIX/2021, menyatakan bahwa syarat pelaporan korban kekerasan seksual bawah umur di samping dapat dilaporkan atau diadukan oleh anak dimaksud, laporan atau pengaduan terhadap peristiwa pidana yang terjadi dapat pula dilakukan oleh orang tua, wali, atau kuasanya
Hal tersebut juga tertuang di dalam Pasal 39 Ayat (1) UU TPKS. “Korban atau orang yang mengetahui, melihat, dan/atau menyaksikan peristiwa yang merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual melaporkan kepada UPTD PPA, unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan atau kepolisian, baik di tempat korban berada maupun di tempat terjadinya tindak pidana,”
Sanksi pelaku Pedofilia
Pasal 292 KUHP
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Pasal 417 UU 1/2023
Setiap orang yang memberi atau berjanji akan memberi hadiah menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan atau dengan penyesatan menggerakkan orang yang diketahui atau patut diduga anak, untuk melakukan perbuatan cabul atau membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Pasal 6 huruf c UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) mengatur sebagai berikut:
Setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300 juta.
Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 115 PK/PID.SUS/2017. Dalam kasus ini, terdakwa (orang dewasa) melakukan sodomi terhadap anak korban (hal. 2-3). Akibat perbuatan sodomi, anak korban mengalami penderitaan fisik dan psikis (hal. 73). Putusan pada tingkat Peninjauan Kembali ini menetapkan bahwa putusan yang dimohonkan tetap berlaku. Sehingga, permohonan peninjauan kembali dari terpidana ditolak (hal. 74).
Adapun Putusan Mahkamah Agung Nomor 2658 K/PID.SUS/2015 sebelumnya menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana dalam Pasal 82 UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP (hal. 12), dan menjatuhkan pidana penjara selama 11 tahun dan denda sebesar Rp100 juta dengan ketentuan jika denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan (hal. 81).
Bahwa di dalam Pasal 5 dan Pasal 6A UU Nomor 12 tahun 2022 dinyatakan bahwa pelecehan seksual terhadap orang dewasa ada mekanisme Restoratif Justice, akan tetapi di dalam Kasus Kekerasan Seksual terhadap anak tidak bisa dihentikan berdasarkan keadilan Restorative Justice (RJ).
Berdasarkan Pasal 1 angka (2) menerangkan bahwa anak berhak mendapatkan perlindungan dari segala kegiatan untuk menjamin agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 yang menjelaskan tentang Kekerasan seksual terhadap anak di atur dalam Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014.
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekekrasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
pasal 81 Undang-Undang Perlindungan anak Nomor 35 tahun 2014 yang menyatakan bahwa “pelaku pencabulan anak di bawah umur akan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama adalah 15 (lima belas) tahun serta denda paling banyak Rp5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).
Pasal 82 Perpu nomor 1 tahun 2016, sebagai berikut:
1.Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E UU No.35 tahun 2014 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,- (lima milyar rupiah);
2.Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pad aayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga pendidik, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1.
Berdasarkan Pasal 81 ayat (5) Perpu Nomor 1 tahun 2016 yang berbunyi:
“dalam hal tindak pidana pemerkosaan anak di bawah umur menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguang jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun”
Terhadap pelaku juga dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik serta diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. Hal ini di atur dalam pasal 81 ayat (7) Perpu 1/2016
Selain di dalam Pasal 76E UU nomor 35 tahun 2014, jerat hukum terhadap pelaku cabul juga di atur berdasarkan Pasal 289 KUHP menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
Berdasarkan Pasal 419 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 menyatakan bahwa “setiap orang yang menghubungkan atau memudahkan orang lain berbuat cabul atau bersetubuh dengan orang yang diketahui atau patut di duga anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
Dan tentang bagaimana jika penegak hukum (dalam hal ini adalah polisi) tidak mau memproses kasus tersebut.
Bahwa, berdasarkan Pasal 12 Huruf a dan f Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2022, mengatur:
Setiap pejabat Polri dalam etika kemasyarakatan, dilarang:
a.Menolak atau mengabaikan permintaan pertolongan, bantuan, atau laporan dan pengaduan masyarakat yang menjadi lingkup tugas, fungsi, dan kewenangannya
f.mempersulit masyarakat yang membutuhkan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan.
Maka dari itu berdasarkan pasal tersebut sudah sepatutnya Pihak Kepolisian sebagai Penegak Hukum memproses perkara yang menyangkut perlindungan terhadap seseorang.
Apabila polisi mengabaikan dan tidak memproses laporan dengan tidak sesuai dengan ketentuan yang telah diatur, maka tentunya akan dikenakan sanksi.Pejabat Polri yang dinyatakan melanggar Kode Etik Profesi Polri (KEPP) akan dikenakan sanksi berupa sanksi etika dan/atau sanksi administratif.
Adapun Sanksi Etika yaitu terdiri dari:
1.Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela;
2.Perilaku wajib meminta maaf secara lisan di hadapan sidang KKEP dan secara tertulis kepada Pimpinan POLRI dan Pihak yang dirugikan;
3.Pelanggar wajib mengikuti pembinaan rohani, mental dan pengetahuan profesi selama 1 bulan.
Sedangkan sanksi administratif yaitu terdiri dari:
1.Mutasi bersifat demosi minimal 1 tahun;
2.Penundaan kenaikan pangkat paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun
3.Penempatan pada tempat khusus paling lama 30 hari kerja; dan
4.Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).
menambahkan Bambang,terkait kasus tersebut pihaknya akan menggiring dan mendorong semua pihak aparat penegak hukum (APH) di tingkat polres Kuningan,kejaksaan negeri Kuningan,Polda jawabarat,dan kejaksaan tinggi jawabarat,untuk segera melakukan penanganan dengan melakukan penangkapan terhadap pelaku kasus tersebut.” tandasnya