Berita  

Tanggapan atas Tulisan Denny JA Soal Kurban Hewan di Era Animal Rights

MEMPERLUAS TAFSIR KURBAN HEWAN

  • Kurban tak Sebatas ‘Bahimatul An’am’

Oleh Ahmadie Thaha

Alkisah, Rabi’ah Adawiyah, sufi perempuan dari abad kedelapan yang berasal dari Basrah, Irak, sedang menaiki gunung tempatnya merenung.

Kambing liar dan kijang berkumpul di sekelilingnya, seolah terhipnotis oleh kehadirannya. Tiba-tiba, Hasan Basri, seorang sufi lain, muncul di tempat itu. Namun, kedatangannya justru membuat semua binatang pergi menjauh.

Tingkah laku hewan-hewan itu membuat Hasan kebingungan. Ia bertanya kepada Rabi’ah, “Mengapa mereka menjauh dariku, padahal mereka begitu akrab denganmu?”

Rabi’ah kemudian bertanya, “Apa yang kamu makan hari ini?” Hasan menjawab, “Sup.” Mendengar itu, Rabi’ah langsung berkata: “Kamu memakan lemak mereka. Bagaimana mungkin mereka tidak menjauh darimu?”

Kisah serupa diceritakan oleh ‘Abdul Karim al-Qusyairi tentang Ibrahim bin Adham. Ketika sufi yang pernah menjadi pemburu ini sedang mengejar seekor kijang, ia mendengar suara yang bertanya, “Ibrahim, apakah untuk ini Kami menciptakanmu?”

Kesadaran pun menyergap Ibrahim. Ia segera turun dari kudanya, melepas pakaian mewahnya, dan memilih untuk menjalani kehidupan sebagai seorang sufi pengembara.

Dua kisah di atas saya kutip untuk memberikan konteks pada artikel Shahid ‘Ali Muttaqi. Karya tulisnya, berjudul “An Islamic Perspective Against Animal Sacrifice,” dirujuk oleh Sdr. Denny Januar Ali dalam artikel renungan Idul Adha, “Akan Menguatkah Tafsir yang Tak Lagi Harus Hewan Dijadikan Kurban Ritus Agama.”

Shahid berpendapat, sudah saatnya umat Islam tidak lagi menyembelih hewan secara massal sebagai bagian dari ritus agama. Menurutnya, yang penting dalam kurban bukanlah fisik hewan yang dikorbankan, melainkan ekspresi ketakwaan manusia, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, surat Al-Hajj ayat 37. Dalam narasi ini, kurban hewan tidaklah esensial.

Setelah menelusuri lebih jauh, saya menemukan bahwa Shahid ‘Ali Muttaqi adalah seorang pro-vegetarian dan pendiri Taliyah al-Mahdi, sebuah organisasi militan mesianik apokaliptik Syiah. Pada awal tahun 2000-an, ia menulis tentang vegetarianisme di situs IslamicConcern.com, dan dari sini lahir sejumlah fatwa yang dimuat pada bagian “Halal Living,” dengan subjudul “Vegetarianism Fatwa.”

Namun, pada awal 2005, Shahid memutuskan untuk memisahkan diri dari Taliyah al-Mahdi karena “ekstremisme yang semakin meningkat.” Ia juga menghapus artikel-artikelnya yang pro-vegetarian dari situs mereka.

Namun, artikelnya yang berjudul “An Islamic Perspective Against Animal Sacrifice” tetap beredar di situs-situs lain, termasuk di situs Dawoodi-bohras.com pada 2008.

Tulisan yang sama dimuat di situs AnimalsInIslam.com. Pendapat Shahid sejalan dengan misi pengelola situs tersebut, yang diterbitkan oleh PETA (People for the Ethical Treatment of Animals), organisasi hak-hak hewan terbesar di dunia, dengan lebih dari sembilan juta anggota dan pendukung. PETA menentang spesiesisme, pandangan dunia yang mengutamakan supremasi manusia atas makhluk lainnya.

Dengan latar belakang di atas, saya ingin mengajak pembaca untuk memahami tulisan Denny JA dalam konteksnya, yang tidak berbeda dengan pandangan Shahid ‘Ali Muttaqi.

Denny mengakui bahwa sampai hari ini, pandangan Shahid masih merupakan opini minor. Ini adalah pandangan alternatif, atau bahkan dianggap nyeleneh oleh sebagian orang.

Namun, menurut Denny, ada tiga kondisi yang perlahan-lahan membuat pandangan Shahid semakin mendapat dukungan. Pertama, kisah Nabi Ibrahim lebih menekankan ajaran moral, yaitu cinta kepada Tuhan dan keadilan.

Kedua, keberagaman dimensi sosial yang memungkinkan kurban tidak harus berupa hewan. Ketiga, munculnya kesadaran yang lebih kuat tentang lingkungan hidup dan hak-hak hewan di era ini.

Jelas terlihat bahwa sikap Denny sejalan dengan Shahid ‘Ali Muttaqi serta para pejuang lingkungan hidup dan hak-hak hewan di dunia. Kurban bukan hanya tentang pengorbanan hewan, tetapi juga tentang pengorbanan spiritual dan sosial.

Dengan menekankan aspek pemberian dan solidaritas sosial, umat Islam dapat memperluas makna kurban untuk mencakup tindakan-tindakan yang mendukung kesejahteraan manusia dan lingkungan, seperti menyumbangkan waktu atau sumber daya untuk inisiatif lingkungan atau kesejahteraan hewan.

-000-

Menjawab pertanyaan Denny JA, “Akan menguatkah tafsir yang tak lagi harus hewan dijadikan kurban ritus agama,” saya yakin bahwa hal ini mungkin terjadi.

Namun, untuk itu, kita perlu mempertebal kesadaran tentang hak-hak hewan hingga vegetarianisme, yang ternyata belum banyak dibahas oleh para ulama. Selain itu, saya akan memperkaya pemikiran Denny JA pada aspek lain yang belum disentuhnya.

Richard C. Foltz, hampir dua puluh tahun lalu, merasakan kegelisahan yang sama seperti Denny JA. Guru besar dari Harvard ini, yang mengakui bahwa dirinya bukan ahli Islam, terdorong untuk menulis buku “Animals in Islamic Tradition and Muslim Cultures.”

Ia berharap, akan lebih baik jika buku ini ditulis oleh seorang ulama, atau mungkin oleh seorang guru besar hukum dari universitas di Arab Saudi, sehingga kredibilitasnya lebih meyakinkan.

Atau, tambahnya, jika argumen-argumen dalam bukunya diajukan oleh pemikir radikal besar dunia Muslim seperti Khaled Abou El-Fadl, Farid Esack, atau Abdol-Karim Soroush, mungkin hal itu bisa memicu perdebatan di dalam komunitas Muslim, setidaknya di kalangan intelektual.

Foltz tampaknya sedang berusaha mendorong diskusi mengenai persoalan lintas spesies melalui wacana yang dikemukakannya ihwal hewan kurban.

Memang tidak banyak ulama yang menulis soal hewan. “Kitab al-Hayawan” karya al-Jahidz (w. 868 M) adalah salah satu karya langka yang mengkaji dunia hewan, yang merupakan terjemahan dari buku “Historia Animalium” karya Aristoteles.

Buku Foltz mengisi kekosongan dengan merangkum sebagian besar informasi tentang hewan dalam Islam yang tersedia dari Al-Qur’an, hadis, fiqh, filsafat, sains, sastra, seni, sarjana kontemporer, situs web, dan bahkan vegetarianisme Islam. Ia juga memuat satu bab khusus tentang anjing.

Foltz umumnya berpikiran terbuka dan bersikap penuh hormat, menunjukkan beberapa aspek di mana Islam melampaui tradisi lain dalam merawat hewan, seperti ajaran bahwa hewan memiliki jiwa, atau menurut istilah Denny, memiliki kesadaran.

Namun, dia tak ragu untuk mengkritik beberapa sarjana yang berpandangan sempit, serta penyimpangan dalam praktik dari ajaran Al-Qur’an dan Nabi Muhammad Saw yang tercerahkan.

Dia mengungkap bahwa “spesiesisme” membuat kaum muslimin, seperti banyak kelompok lain, merasa superior terhadap hewan dan memperlakukan mereka sebagai properti atau alat belaka.

Dia merangkum hukum Islam tentang hewan, dengan mengatakan bahwa umat Islam seharusnya “membunuh hewan hanya untuk memenuhi rasa lapar atau untuk melindungi diri dari bahaya.” Menurut Foltz, jika hukum ini dipatuhi, maka hewan akan diperlakukan jauh lebih baik.

Kesimpulan Foltz terdengar seperti khotbah seorang pegiat lingkungan yang mendesak kita semua untuk menahan keserakahan dan prokreasi kita, serta mengajak kita berkontribusi pada upaya menyelamatkan planet ini.

Dia menyatakan bahwa cara kita hidup sekarang melampaui ketidakpedulian dan mendekati kegilaan. “Ini harus berubah,” katanya, karena “jika tren saat ini berlanjut, kita tidak akan bertahan.”

Upaya pemuliaan lingkungan dalam batas tertentu telah coba diangkat oleh para ulama di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam satu dekade terakhir, MUI telah menetapkan lima fatwa terkait lingkungan.

Terakhir, pada November 2023, MUI menerbitkan fatwa No. 86 Tahun 2023 tentang hukum pengendalian perubahan iklim global. Sebelumnya, MUI telah berfatwa tentang pertambangan ramah lingkungan, pelestarian satwa langka untuk menjaga keseimbangan ekosistem, pengelolaan sampah untuk mencegah kerusakan lingkungan, serta hukum pembakaran hutan dan lahan serta pengendaliannya.

Namun, kecuali soal satwa langka yang harus dilestarikan, tidak satu pun fatwa MUI yang membahas soal hak-hak hewan hingga vegetarianisme. Karena itu, sudah saatnya isu hak-hak hewan hingga vegetarianisme didiskusikan secara lebih serius oleh para ulama kita.

Ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi kita untuk memperkaya perspektif Islam dalam konteks keberlanjutan lingkungan hidup dan kesejahteraan hewan.

Juga tidak ada fatwa terkait ajaran fiqih seperti yang dikemukakan Foltz, yaitu bahwa “membunuh hewan hanya boleh dilakukan untuk memenuhi rasa lapar atau untuk melindungi diri dari bahaya.”

Dalam fatwanya tentang kurban, sebagaimana disebutkan oleh Denny JA, MUI memandang bahwa kurban hewan tidak dapat digantikan. Tak ada pengecualian dalam hal ini. Ini pandangan mayoritas, dengan MUI sebagai acuannya yang kukuh.

MUI baru mengeluarkan fatwa tentang hewan kurban pada 31 Mei 2022, yang diterbitkan terkait kondisi khusus terjadinya wabah penyakit mulut dan kuku. Dalam kondisi ini, MUI tetap mengharuskan kurban berupa hewan, dengan menekankan syarat kelayakan, termasuk aspek kesehatannya.

Menariknya, pada tahun 2001, menanggapi wabah penyakit kaki dan mulut di Eropa, Imam Masjid Paris mengeluarkan fatwa bahwa kurban hewan pada Idul Adha tidak wajib.

Menurut fatwa ini, kurban hewan dapat diganti dengan memberikan sepertiga harga seekor domba dalam bentuk uang tunai kepada orang miskin. Ini sejalan dengan ide yang diusulkan oleh Denny.

Sebelumnya, selama tahun 1990-an, Raja Hassan dari Maroko pada dua kesempatan bahkan mengambil langkah lebih ekstrem dengan melarang penyembelihan hewan kurban karena kondisi ekonomi negara yang terpuruk.

Bagi Raja Hassan, menyembelih hewan kurban hukumnya hanya sunnah dan dapat ditiadakan dengan alasan kesejahteraan umat Muslim di Maroko.

Memang, hukum berkurban adalah sunnah sebagaimana disebutkan oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqih, dan ditambahkan menjadi sunnah “muakkadah” oleh MUI dalam fatwanya No. 32/2022.

Sunnah berarti sesuatu yang boleh dikerjakan, namun juga boleh tidak dikerjakan. Itupun bersyarat: hanya berlaku bagi umat Islam yang baligh, berakal, dan mampu.

Dasar hukum perintah sunnah berkurban, menurut MUI, terdapat dalam al-Qur’an, yaitu ayat 1-3 surah Al-Kautsar (108):

‎إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberimu (Nabi Muhammad) nikmat yang banyak. Maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah!”

Serta ayat 34 dan 37 surah Al-Hajj (22):

‎وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ

Artinya: “Bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban) agar mereka menyebut nama Allah atas binatang ternak yang dianugerahkan-Nya kepada mereka. Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa. Maka, berserah dirilah kepada-Nya. Sampaikanlah (Nabi Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang yang rendah hati lagi taat (kepada Allah).”

‎لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ

Artinya: “Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang muhsin.”

-000-

Rasulullah Saw disebutkan berkurban dengan dua ekor kambing bertanduk yang beliau sembelih sendiri, serta menyebut nama Allah dan bertakbir (HR. Muslim).

Sejumlah hadis menjelaskan keutamaan berkurban, menganjurkannya, dan ada yang mengecam orang yang meninggalkannya. Karena itu, para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai hukumnya. Mayoritas ulama menyebut hukumnya sunnah, bukan wajib.

Sementara itu, menurut pendapat Abu Hanifah, hukumnya wajib bagi setiap orang yang mampu. Perlu digarisbawahi, wajib hanya bagi yang mampu. Pendapat ini juga diikuti oleh Rabi’ah, Al-Laits bin Sa’ad, Al-Auza’i, Ats-Tsauri, dan Imam Malik dalam salah satu pendapatnya.

Sikap ini terutama didasarkan pada hadis Nabi Saw yang bersabda: “Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rezeki) tetapi tidak berkurban, maka janganlah mendekati tempat salat kami” (HR. Ibnu Majah, Al-Hakim, dan Ad-Daruquthni).

Terkait objek kurban, pada ayat-ayat di atas disebutkan istilah “bahimatul an’am” (binatang ternak), serta istilah “nahr” (penyembelihan hewan kurban dengan mengucurkan darah). Sekitar pertengahan tahun 2023, di Mesir dan dunia Arab muncul perdebatan tentang pengertian istilah ini. Pemicunya adalah sebuah fatwa Dr. Sa’duddin Al-Hilali, Guru Besar Fiqih Perbandingan di Universitas Al-Azhar, Mesir.

Dalam sebuah wawancara televisi, Sa’duddin Al-Hilali berbicara tentang diperbolehkannya berkurban dengan unggas dan ayam, yang disebutnya tidak masuk kriteria “bahimatul an’am.”

Dia menyerukan umat Islam “menyebarkan budaya berkurban dengan unggas, daripada menyebarkan budaya berhutang dan mencicil untuk membeli hewan kurban, mengingat kesulitan keuangan banyak orang.”

Sa’duddin mengatakan, “Berkurban dengan unggas didukung oleh pendapat sejumlah imam dan ulama dalam Islam yang membolehkannya, dan mendasarkan pendapat mereka pada bukti dari Al-Qur’an dan Sunnah.”

Dia mengutip pendapat dua sahabat, Ibnu Abbas dan Bilal, yang membolehkan berkurban dengan hewan selain “bahimatul an’am.” Ibnu Abbas ra berkata: “Cukup dalam berkurban dengan menumpahkan darah meski hanya dari ayam atau angsa.” (HR. Abdurrazaq, Ibnu Hazm dengan sanadnya, dan Al-Baihaqi).

Sa’duddin juga mengutip Suwaid bin Ghaflah yang berkata: “Aku mendengar Bilal berkata: ‘Aku tidak peduli meski berkurban dengan seekor ayam jantan. Dan lebih aku sukai bersedekah dengan harganya kepada anak yatim atau orang yang kekurangan daripada aku berkurban dengannya’” (HR. Abdurrazaq dan Ibnu Hazm dengan sanadnya).

Namun, ada yang menduga bahwa kemungkinan bagian kedua dari hadis ini, yaitu tentang bersedekah sebagai ganti kurban, adalah tambahan dari perawi dan bukan ucapan Bilal ra.

Selanjutnya, Sa’duddin mengutip pendapat Ibnu Hazm. Ulama terkemuka asal Andalusia, Spanyol ini, mengutip pendapat yang lebih luas dengan mengatakan: “Kurban diperbolehkan dengan setiap hewan yang dapat dimakan dagingnya, baik berupa hewan berkaki empat maupun burung, seperti kuda, unta, bison, ayam jantan, dan semua jenis burung serta hewan yang halal dimakan.”

Berikutnya, Sa’duddin mengutip pendapat Yusuf bin Hasan Al-Maqdisi. Ulama asal Damaskus dan bermazhab Hanbali, yang dikenal dengan sebutan Ibnul Mubarrad (w. 909 H), juga mengikuti pendapat tersebut.

Dalam risalah bantahan yang ditulisnya, dia menisbahkan pendapatnya kepada “sekelompok ulama” yang mengatakan: “Kurban sah dengan segala sesuatu yang boleh dimakan dari burung dan hewan berkaki empat yang halal.” Kemudian dia berkata, “Inilah yang saya pilih dan saya ikuti.”

Wawancara Sa’duddin tersebut segera menimbulkan perdebatan luas di platform media sosial di Mesir dan dunia Arab. Umumnya, mereka menolak.

Mufti Mesir, Dr. Syauqi ‘Allam, dalam fatwa sebelumnya di situs web Darul Ifta’, menjawab pertanyaan tentang kebolehan berkurban dengan unggas. Dia menjelaskan, “Tidak diperbolehkan berkurban kecuali hewan tersebut termasuk jenis an’am, yaitu unta, sapi, dan kambing.”

Menurut Syauqi, pendapat yang mengatakan diperbolehkannya berkurban dengan setiap hewan yang dagingnya boleh dimakan adalah pendapat yang lemah dan tidak dianggap dalam fatwa, serta bertentangan dengan praktik umat yang mapan.

Dia menambahkan, apa yang dikatakan Ibnu Abbas tentang kebolehan berkurban dengan unggas tidaklah benar dan bertentangan dengan apa yang benar dari Rasulullah.

Perdebatan mencuat tentang maksud “bahimatul an’am” dari ayat 34 surah Al-Hajj. Dr. Syauqi ‘Allam, seperti banyak ulama fiqih lainnya dari keempat mazhab, mengartikannya terbatas pada hewan: unta, sapi, dan kambing.

Padahal, setelah menyebut sejumlah pendapat para ulama, Ath-Thabari dalam tafsirnya menegaskan bahwa “bahimatul an’am” mencakup semua hewan ternak yang diperbolehkan untuk disembelih sebagai kurban, baik yang besar maupun yang kecil.

-000-

Jauh sebelumnya, pada tahun 2001, ide memperluas makna “bahimatul an’am” juga sudah muncul di Turki. Zakaria Bayaz, Dekan Fakultas Fiqih di Universitas Marmara Istanbul, Turki, mengatakan di koran “Milliyet” pada 1 Maret 2001: “Berkurban dengan ayam dapat memenuhi kewajiban di tengah krisis ekonomi yang melanda Turki, dan tak mungkin mewajibkan orang yang berpenghasilan minimum dan pegawai negeri untuk berkurban, sedangkan bagi orang yang mampu, ia dapat berkurban.”

Diskusi di Turki tampaknya menyebar ke dunia Arab. Pada 3 Maret 2001, surat kabar Al-Syarq Al-Awsat melaporkan bahwa “Front Ulama Al-Azhar” di Mesir mendukung fatwa Turki. Ketua Front, Muhammad Abdul Mun’im Al-Bari, dikutip mengatakan: “Ini diperbolehkan dalam kondisi sulit dan darurat karena tujuan kurban adalah menumpahkan darah dalam bentuk apa pun.” Kata “nahr” di surah Al-Kautsar mengandung makna penumpahan darah hewan (iraqatuddam) ini.

Koran tersebut juga mengutip Syaikh Al-Qardhawi yang mengatakan: “Bagi mereka yang tidak mampu membeli kurban, cukup baginya membeli daging seharga satu dirham seperti yang dilakukan beberapa sahabat.” Kemudian, pada tahun 2004, dia menerbitkan fatwanya dalam buku “Seratus Pertanyaan tentang Haji, Umrah, Qurban, dan Dua Hari Raya.”

Di buku ini, Al-Qardhawi mengatakan, sunnah kurban gugur “bagi yang tidak mampu, dan tidak ada cela baginya.” Lebih lanjut, dia berkata, sunnah tak mengharuskan jenis hewan tertentu dalam berkurban. Yang lebih penting adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan berbagi rezeki dengan orang-orang yang membutuhkan.

Menurut Syaikh Al-Qardhawi, jika keadaan ekonomi sangat sulit, seperti krisis ekonomi yang melanda sebagian negara, dan orang-orang tidak dapat membeli hewan kurban, maka mereka dapat berkurban dengan hewan apa pun yang mereka mampu beli. Bahkan jika itu hanya ayam, burung, bebek, angsa, kelinci, atau jenis unggas lain yang dikenal masyarakat, selama hal itu dilakukan dengan niat tulus.

Kemudian dia mengutip pernyataan Ibnu Abbas sebelumnya dan berkata: “Inilah kurban secara kiasan.” Fatwa ini dan perdebatan seputarnya menunjukkan, ada kelonggaran dalam fiqih Islam yang bisa dipertimbangkan dalam situasi tertentu, terutama ketika ada kondisi darurat atau kesulitan ekonomi yang signifikan. Inilah contoh bagaimana hukum Islam dapat beradaptasi dengan kondisi zaman dan keadaan masyarakat.

Selain aspek ekonomi, saya ingin menambahkan aspek lain yang bisa menjadi pertimbangan dalam pemilihan hewan kurban, yaitu aspek kesehatan yang belum banyak disinggung dalam pembahasan mengenai kurban. Ini sering kali terabaikan, padahal kurban juga berperan penting dalam penyediaan gizi bagi masyarakat, terutama protein yang sangat dibutuhkan oleh tubuh.

Hewan yang dipilih untuk kurban, seperti kambing, domba, sapi, unta, atau hewan-hewan lain, memiliki kandungan gizi yang berbeda-beda, terutama dalam hal protein, yang merupakan komponen utama dalam daging. Kambing, misalnya, per 100 gram dagingnya (tanpa lemak) mengandung kalori 143 kcal, protein 27g, lemak 3g, dan zat besi 2.7mg.

Sementara domba, kandungan gizi per 100g dagingnya (tanpa lemak) mengandung kalori 206 kcal, protein 20g, lemak 14g, dan zat besi 1.8mg. Bandingkan dengan kandungan gizi sapi, per 100g dagingnya (tanpa lemak) mengandung kalori 250 kcal, protein 26g, lemak 15g, dan zat besi 2.6mg. Adapun unta, kandungan gizi dagingnya per 100g mengandung kalori 143 kcal, protein 20g, lemak 4g, dan zat besi 3.6mg.

Jika kita membandingkan kandungan protein dari hewan-hewan yang umumnya dijadikan kurban ini, dapat dilihat bahwa daging kambing dan sapi memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibanding daging domba dan unta.

Namun, perlu diingat bahwa kandungan lemak juga berbeda, dengan daging sapi dan domba memiliki lebih banyak lemak dibanding daging kambing dan unta.

Apakah ada yang siap berkurban dengan ikan, yang gizinya tak kalah dari hewan bahimatul an’am? Inilah kandungan gizinya. Ikan tuna per 100g mengandung kalori 130 kcal, protein 29g, lemak 1g, dan zat besi 1.3mg. Lalu ikan sarden per 100g mengandung kalori 208 kcal, protein 25g, lemak 11g, dan zat besi 2.9mg. Dan ikan makarel (kembung) per 100g mengandung kalori 205 kcal, protein 19g, lemak 13.9g, dan zat besi 1.6mg.

Dalam konteks kesehatan, memilih hewan kurban sebaiknya tidak hanya berdasarkan tradisi atau ketersediaan, tetapi juga harus mempertimbangkan kebutuhan gizi masyarakat yang akan menerima daging kurban.

Misalnya, di daerah yang masyarakatnya mengalami kekurangan protein, memilih sapi atau kambing dengan kandungan protein yang lebih tinggi mungkin lebih bermanfaat. Mungkin juga ikan, yang berprotein lebih tinggi dari hewan bahimatul an’am?

Sebaliknya, di daerah di mana masalah kesehatan terkait dengan lemak lebih dominan, memilih unta atau kambing yang memiliki kandungan lemak lebih rendah mungkin lebih tepat.

Mungkin juga ikan? Karena itu, aspek kesehatan dan kandungan gizi hewan kurban perlu lebih diperhatikan dalam keputusan kurban, bukan hanya dari segi ritual keagamaan, tapi juga dari segi manfaat kesehatan bagi penerima kurban.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Ahmadie Thaha, pendiri beberapa pesantren, pengasuh Ma’had Tadabbur al-Qur’an, wartawan di sejumlah media, pendiri media digital pertama RepublikaOnline, penulis buku, penerjemah kitab-kitab klasik, dan aktivis sosial di MUI, PUI, PIM, dll.