Berita  

Kisah Nyata Pejuang Timor Timur dari Tatar Sunda: Prajurit Batalyon Infantri 745 Tak Kenal Mati (Bagian 2)

Nusa Tenggara Barat Globalinvestigasinews Com – Minggu ( 10/11/2024) – Artikel dalam Rubrik OPINI berjudul “Kisah nyata Pejuang Timor Timur dari Tatar Sunda: Prajurit Batalyon Infantri 745 Tak Kenal Mati (Bagian 2)” ini ditulis oleh: Mayjen TNI (Purn.) Asep Kuswani, S.H., M.Si.Han., Anggota Dewan Pini Sepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS), Ketua Dewan Pembina (KDP) Paguyuban Asep Dunia (PAD), Dewan Pembina Asosiasi Media Independen Online (MIO) Indonesia, dan founder (pendiri) Asep News (AsepNews.id).

Sore hari itu pertempuran dengan gerombolan pengacau keamanan masih berlangsung. Baku tembak pun masih terjadi dengan sengit.

Saya sebagai Komandan Tim masih bergerak maju sambil mengendalikan anggota yang terus mengejar sambil melepaskan tembakan ke arah musuh. Saya harus bisa mengimbangi anak buah saya yang hebat-hebat karena selama ini mungkin mereka sudah biasa bertempur. Namun, mereka harus tetap berada dalam kendali saya.

Dengan napas terengah-engah, saya mencoba menerobos pertahanan musuh, tidak peduli dengan sulitnya medan yang dilewati berupa alang alang dan tumbuhan berduri yang merintangi. Saya terus maju, pantang mundur.

Ketika saya merasa kesulitan membuka jalan menuju ke sasaran, rupanya anak buah sudah hilang dari pelupuk mata karena sedang melakukan pengejaran. Akhirnya saya bergerak lebih hati-hati karena khawatir adanya serangan melingkar dari pihak lawan.

Suara tembakan tidak henti-hentinya bergemuruh dar der dor. Kedua kubu saling tembak menembak. Desingan peluru bagaikan mainan beterbangan di seputar tempat saya berlindung. Ternyata pihak musuh mundur sambil menembak ke berbagai arah dengan genjar.

Tiba-tiba terdengar suara granat meledak … blaaar. Suasana semakin mencekam dan mengerikan. Saat itu saya khawatir kalau anak buah saya ada yang terkena ledakannya.

Ya, beginilah kehidupan keras seorang serdadu ketika dalam penugasan, kill to be kill, dibunuh atau membunuh!

Saya mau laporan ke Komando Atas, tapi tidak bisa karena tidak dibekali sarana komunikasi. Begitu juga mau minta bantuan karena melihat gerombolan bersenjata cukup banyak. Akhirnya saya hanya bisa memohon kepada Allah SWT, semoga pasukan kami bisa selamat dan berhasil.

Setelah kejadian itu, walaupun dalam kesendirian karena terpisah dengan anggota yang sedang melakukan pengejaran, saya terus maju dengan penuh kewaspadaan. Ternyata perjalanan saya semakin mendekati area camp musuh, yaitu berupa gubuk-gubuk yang baru saja dibuat dan terlihat cukup banyak.

Ketika saya mau masuk ke camp musuh, walaupun anak buah saya sudah tidak kelihatan, saya berteriak sambil memuntahkan peluru dari senjata M-16 ke arah gubuk-gubuk itu, “Majuuu … majuuu! Kuasai dan amankan medan di sebelah kiri. Jangan sampai masih ada yang bertahan di situ!”

Saya terus, saya maju dengan risiko seorang prajurit tempur, hidup atau mati! Ternyata ketika terjadi kontak tembak pertama itu, secara bertahap mereka mengundurkan diri sambil bertahan.

Hari semakin sore. Cahaya lembayung menguning di ufuk timur mulai muncul. Begitu pula dengan suara tembakan tinggal satu dua letusan yang terdengar hingga akhirnya tembakan itu berhenti. Suasana jadi hening di tengah hutan belantara yang masih perawan.

Dengan kesendirian di tengah hutan itu, saya tetap waspada sambil berpikir, di manakah anak buah saya berada? Bagaimana keadaannya?

Saya maju terus sambil memegang senjata dengan posisi siap tempur. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar samar-samar seperti ada suara-suara orang sedang berjalan. Kemudian saya segera berlindung dibalik pohon dengan posisi siaga satu. Saya buka kunci senjata dan siap-siap menekan picu sambil diarahkan ke arah suara tadi.

Dari kejauhan terlihat seseorang bersenjata sedang berjalan ke arah saya. Saat itu saya berpikir, mereka ini anak buah saya atau musuh?

Saya masih bersandar di balik pohon sambil membidik ujung laras senjata ke arah orang yang jalan semakin mendekat. Untuk memastikan itu kawan atau musuh maka saya pun mengucapkan kata sandi, “Tujuh empat lima!”

Dalam hati saya berkata, kalau saja mereka saja menjawab maka senjata yang saya pegang ini akan menyalak dan memuntahkan pelurunya.

Pria bersenjata itu menjawab, “Letnan Asep! Di mana?”

Saya terkejut, ternyata sosok bersenjata itu adalah anak buah saya. Senjata pun segera saya kunci dan keluar dari persembunyian di balik pohon, lalu bergerak menghampirinya.

Setelah kami bertemu dan saling bercerita, ternyata anak buah saya itu memang sengaja mencari saya. Ia khawatir komandan yang baru datang bertugas di kesatuannya terjadi apa-apa.

Inilah indahnya sebuah kebersamaan. Ternyata bukan komandan saja yang bertanggung jawab atas keselamatan anggotanya. Akan tetapi, anak buah juga ikut bertanggung jawab atas keselamatan komandannya. Sangat mengharukan.

Kemudian saya tanya bagaimana situasi di depan. Anah buah saya lalu melaporkan bahwa Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) sudah lari tunggang langgang mengundurkan diri.

Ketika terdengar ledakan geranat sebagai tandanya, kemudian satu persatu anah buah saya berdatangan. Setelah saya cek satu per satu, alhamdulillah semua anggota saya selamat.

Salah seorang anak buah saya mengusulkan agar kami terus melakukan pengejaran terhadap GPK. Namun, saat itu hari sudah semakin gelap. Saya khawatir akan terjadi serangan balik. Saya perhatikan tak jauh dari tempat kami mengobrol, ada sebuah bukit kecil. Dalam pikiran saya berkata, tempat ini kayaknya bagus untuk konsolidasi. Setelah itu saya putuskan dan perintahkan agar anak buah saya menuju nke bukit itu untuk konsolidasi.

Kurang lebih pukul 18.00 waktu setempat, kami sampai di suatu ketinggian. Sebelum diduduki, kami lakukan patroli dulu di sekitar tempat itu sampai radius sekitar 5 Km. Setelah dinyatakan aman, baru kami duduki tempat itu.

Para prajurit 745, tanpa diperintah, orang yang dituakan dari mereka, salah satunya Kopral seniornya mengatur tempat jaga untuk menutup kemungkinan-kemungkinan musuh dapat masuk. Ia juga berinisiatif menyiapkan tempat untuk komandannya tanpa perintah.

Saya salut betapa hebatnya para prajurit saya itu. Mereka begitu hormatnya pada komandannya walaupun baru ketemu. Mereka tampaknya melaksanakan tugasnya sebagai prajurit dengan penuh keikhlasan dan tanggung jawab.

Setelah selesai mengatur segala sesuatunya, prajurit saya yang dituakan tersebut melaporkan bahwa semuanya, termasuk untuk penjagaan malam sudah diatur dan menyarankan tidak berbivak demi keamanan.

Saya menyetujui saran anak buah saya tersebut. Kemudian menuju tempat istirahat di tempat yang telah mereka bikin di atas tanah yang ditebar dengan alang-alang dan ditutup dengan ponco ─ baju untuk penghangat badan atau sebagai jas hujan yang dibuat dari kain persegi empat yang berlubang di tengahnya tempat memasukkan kepala. Itulah untuk tidur saya tanpa bivak ─ pondok (tempat bermalam) sementara di tengah hutan dan sebagainya (bagi tentara dan sebagainya).

Dipuncak bukit kami bermalam. Tatkala malam semakin larut, saya duduk dialas yang sudah disiapkan oleh anggota.

Kami tidur di puncak bukit beralaskan tanah dan beratapkan langit, ditemani sang rembulan dan bintang-bintang. Malam itu saya merenung, inilah malam pertama saya menikmati alam Timor Timur yang entah akan berapa lama bertugas di sini, menjalankan tugas negara.

Kontak tembak dengan gerombolan pengacau keamanan merupakan pengalaman pertama yang tak akan bisa saya lupakan sepanjang hayat. Saat itulah pertama kalinya saya mempraktikkan pelajaran yang didapat selama pendidikan militer di lembah Tidar.

Bumi Lorosae, suatu wilayah di Timor Timur yang telah mengharuskan saya untuk langsung mengaplikasikan taktik melawan gerilya yang sebenarnya ilmunya telah saya dapat saat menempuh pendidikan militer.

Ketika saya sedang memutar otak untuk merencanakan taktik lanjutan agar selamat dan berhasil, tiba-tiba seorang kopral datang menghampiri saya. Ia bernama Armindo, mantan tropas ─ eks tentara Portugis, asli orang Timor Timur yang telah membuyarkan lamunanku.

Entah apa yang dilihat oleh kopral itu dari saya. Mungkin ia pikir saya sedang kebingungan atau khawatir. Entahlah! Cuma yang saya tahu, ia mencoba meyakinkan saya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Kopral itu berkata dalam logat Timor Timur, “Komandan, sudahlah jangan merenung. Kami sudah terbiasa seperti ini. Untuk pengamanan, semuanya sudah diatur. Pembagian jaga sudah ditentukan. Bahkan, jalan-jalan yang memungkinkan GPK bisa masuk, sudah ditutup.”

Sebagai komandan, tentu saya harus tegas dan meyakinkan anggota bahwa saya bukan merenungkan sesuatu yang bikin ciut mereka. Justru saya sedang memikirkan cara untuk mengalahkan GPK.

Saya pun berkata kepada mereka, “Saya juga sudah terbiasa latihan di pendidikan Akabri/Akmil, jadi yakinlah bahwa kita dalam posisi yang benar untuk menumpas GPK sebagai salah satu tugas yang harus di emban”.

Lalu saya mengucapkan terima kasih atas inisiatifnya. Saya berpesan kepada mereka untuk tidak lengah dan jangan sampai ada serangan balas. Mereka benar-benar tentara yang sudah sangat terlatih dan gesit.

Beberapa saat kemudian tiba-tiba datang seorang prajurit sambil membawa misting, “Izin Komandan, makan dulu. Sudah siap nasi kaleng, sayur, dan lauknya”.

tentara Indonesia
Ilustrasi: Prajurit TNI sedang melakukan operasi di tengah hutan – (Sumber: Bing Image Creator AI)
Saya cukup terharu melihat prajurit yang begitu setia dengan komandannya. Walaupun baru bertemu, mereka tidak segan-segan memperlakukan komandannya dengan baik. Oleh karena itu, ketika salah seorang mengirimkan makanan, saya bertanya kepadanya, “Kamu masak di mana?”. Ia menjawab bahwa ia masak di lembah karena di situlah sumber air ditemukan.

Berkat perjuangan dan pengorbanan anak buah saya yang tanpa pamrih, saya semakin berempati dan menyayangi anak buah saya dengan setulus hati.

Pertama kali memimpin prajurit yang sudah banyak pengalamannya di lapangan, bagi saya tentu sangat mengesankan. Walaupun sudah banyak makan asam garamnya perjuangan melawan GPK di tengah hutan, mereka tetap rendah hati dan tidak sombong. Bahkan, patuh dan taat pada pimpinannya.

Malam itu rasanya saya sulit tidur. Di tengah kegelapan malam yang sunyi senyap, saya hanya ditemani sang rembulan dan bintang di langit. Suasana seperti ini seakan menambah semangat saya bertugas di Timor Timur.

Saya melihat anak buah saya hanya tidur beralaskan tanah tanpa bivak. Ketia saya memeriksa anak buah yang sedang jaga, mereka terlihat dalam keadaan siap siaga. Setelah itu saya melakukan salat Tahajud di puncak bukit itu, memohon kepada Allah SWT keselamatan dan keberhasilan dalam menjalankan tugas suci ini.

Waktu terus berjalan. Kokok suara ayam hutan pun mulai terdengar yang mengisyaratkan malam mulai condong ke Subuh. Pergantian jaga pun terus berlanjut.

Ketika fajar menyingsing, semua anggota saya sudah siap untuk kembali bertempur. Semua logistik yang diperlukan pun sudah mereka persiapkan.

Sebelum bergerak, saya memerintahkan kepada anggota untuk sarapan terlebih dahulu. Sambil menunggu para prajurit makan, saya melakukan orientasi peta. Pada salah satu ketinggian, terlihat seperti ada gubuk/boks tempat pertahanan. Menurut para anggota, tempat itu kemungkinan poskonya tentara penugasan.

Setelah selesai mengisi “Kampung Tengah” dan istirahat sejenak, sebelum berangkat kami berdoa dulu. Kemudian kami bersiap kembali berangkat dengan ransel digendong di punggung dan senjata lengkap.

Pagi itu kami bergerak menuju tempat yang diperkirakan posko tentara penugasan. Kurang lebih dua jam perjalanan, barulah sampai di posko itu. Tempatnya dikelilingi batu-batu sebagai tempat pertahanannya.

Alhamdulillah dugaan kami benar. Saya sangat bersyukur bisa bertemu dengan satuan tetangga dari Batalyon 413 Kostrad. Bagi saya pertemuan ini satu anugerah. Tak terbayangkan sebelumnya bisa bertemu dengan pasukan Kostrad. Mereka adalah satuan Yonif 413 Kostrad, tempat saya melaksanakan job training waktu di tingkat empat AKABRI.

Pertemuan itu tidak saya sia-siakan. Saya menceritakan kesulitan untuk menyampaikan informasi karena tidak dibekali dengan radio PRC. Saya minta tolong kepada mereka untuk disambungkan ke Batalyon 745.

Kepada Komandan Batalyon (Danyon) 745 saya melaporkan bahwa kemaren telah terjadi VC dengan GPK. Dengan adanya peristiwa tersebut saya meminta tambahan kekuatan dan sarana komunikasi PRC supaya bisa berkomunikasi dengan Komando Atas karena pengalaman kontak tembak itu nampaknya GPK lebih banyak.

Setelah mendapatkan arahan dari Danyon, kemudian kami merapat kesatuan yang paling dekat yaitu Kompi A/745. Setelah sampai, semua logistik yang dibawa seperti peta dan lainnya saya serahkan semua, kemudian saya dibekali Radio PRC dan pelayan radionya, serta tambahan dua personil sehingga jumlah tim menjadi 15 orang, termasuk saya. (Bersambung).