Berita  

Selamat Hari Ibu : AMBILLAH GINJAL IBU, ANAKKU

(Selamat Hari Ibu)

AMBILLAH GINJAL IBU, ANAKKU

Oleh Denny JA

Di tahun 2024, seorang ibu di Jawa Barat memilih kehilangan sebagian tubuhnya,
agar putrinya bisa sehat kembali.
Sang putri, dengan penuh syukur, menulis,
‘Ibu melahirkanku sekali lagi,
bukan dengan rahimnya,
tapi dengan ginjalnya (1)

-000-

Tubuh Mila sejak kecil rapuh.
Ginjalnya seperti embun pagi,
menghilang sebelum matahari tinggi.

Setiap minggu, Mila terbaring cuci darah,
menatap langit-langit rumah sakit
bertanya, sampai kapan?

Mila bunga yang tak sempat mekar.
Kartini memandangnya dalam diam.
“Putriku, waktu mencuri masa kecilmu,
seperti malam mencuri cahaya pagi.”

Hari itu, dokter memanggil Kartini.
“Ginjal Mila sudah tidak berfungsi.
Jika tak ada donor, ia akan pergi.”

Kartini terdiam.
Kata-kata itu menjadi petir
membelah pohon jantungnya.

Ia berteriak ke langit.
“Tuhan, selamatkan anakku.”

Malam itu,
Kartini tak tidur.
Lantainya menjadi pasir dingin,
mengubur tubuhnya perlahan.

Nyamuk berkerumun.
Doanya terhenti di celah langit-langit.
“Jika aku menyerahkan ginjalku,
dan aku runtuh,
siapa yang akan merawat anak- anakku.

Kartini dinding terakhir,
menopang rumah yang hampir runtuh.
Suaminya telah lama hilang,
bintang jatuh yang tak pernah kembali.

Ia bekerja tanpa jeda,
mencuci baju, memeras tenaga,
mengumpulkan uang,
seperti mencari air di gurun,
sedikit demi sedikit untuk memberi makan anaknya.

Tapi ia sadar,
jika ia tak menyerahkan dirinya,
Mila akan mati,
tenggelam
di samudera takdir yang kejam.

Pagi itu, Kartini berdiri di depan dokter,
Ia berlagak kokoh,
menjadi gunung yang tak tergoyahkan meski diterpa angin.

“Ambillah ginjal saya.”
Dokter mengangguk perlahan,
penuh kekhawatiran.
“Risikonya besar, Bu.
Ibu yakin?”

Kartini tersenyum kecut,
penuh ragu,
tapi bayangan wajah Mila yang menangis, menguatkan.

“Anak saya terlalu lama di jalan gelap.
Waktunya, Ia melihat cahaya.”

Hari itu adalah pertaruhan hidup.
Mila memegang tangan ibunya erat.
Ia akar yang takut kehilangan tanahnya.

“Mi, jangan lakukan ini.
Aku tak ingin kehilanganmu.”
Kartini membalas dengan senyuman yang menenangkan.

“Nak, tubuh ibu hanyalah sebuah jembatan.
Ia tidak pernah takut runtuh,
asalkan kau bisa melewatinya dengan selamat.”

Ketika mereka masuk ke ruang operasi,
doa-doa disemai menjadi aliran sungai,
mengalir di hati semua orang.

Waktu berhenti,
Daun tertahan di udara,
menunggu angin menjatuhkannya.

Jam dinding berdetak,
menjadi palu takdir yang menghitung masa depan.
selamat atau mati.

Ketika Mila bangun,
ia merasa sesuatu yang berbeda.
Tubuhnya lebih ringan,
napasnya lebih lapang.
Ia menangis.
“Ibu, aku bisa hidup lagi.”

Kartini tersenyum dari ranjang sebelah.
Wajahnya pucat, tubuhnya lemah,
tapi di matanya ada cahaya.

“Ibu melahirkanku kedua kali.
Sekali dari rahimmu
dan sekali lagi dari ginjalmu.”

Kini, Mila berjalan di taman,
menatap langit biru tanpa rasa takut.
Kartini duduk di bangku,
menyaksikan anaknya dengan takjub, walau ginjalnya tinggal separuh.

Kasih ibu lautan tanpa tepi.
Ia terus mengalirkan gelombang ke pantai,
bahkan ketika pasir mencoba menjauh.

Dan Mila adalah kapal kecil,
yang ia jaga agar tak pernah karam,
meski badai terus datang.***

Jakarta, 2024

(1) Puisi esai ini adalah fiksi tentang kasih Ibu, diinspirasi oleh kisah sebenarnya

https://www.detik.com/jabar/berita/d-7512577/ibuku-memberiku-hidup-untuk-kedua-kalinya?utm_source=chatgpt.com