Berita  

“Kisah Pilu Nikah Siri Remaja Jember Ditelantarkan Pasangan Tak Tercatat Hukum ?!”

  • Kisah Pilu Nikah Siri Remaja Jember Ditelantarkan Pasangan Tak Tercatat Hukum

GIN JATIM JEMBER
28/12/2024
Fenomena nikah siri dan pernikahan dini terus menjadi isu sosial yang memprihatinkan di Kabupaten Jember. Nikah siri, yang dilakukan sesuai rukun agama Islam namun tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA), sering menjadi jalan pintas bagi sebagian masyarakat. Praktik ini terbagi dalam dua kategori: akad nikah yang sah secara agama tetapi tidak diakui negara, dan pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Masalah ini mencerminkan kompleksitas sosial yang dihadapi masyarakat. Sepanjang 2023, Kabupaten Jember mencatat 5.348 kasus perceraian dari total 18.635 pernikahan. Tingginya angka perceraian menjadi bukti kesulitan keluarga dalam mempertahankan keutuhan rumah tangga.

Data dari Pengadilan Agama (PA) Jember menunjukkan tingginya pengajuan dispensasi nikah (diska). Pada 2023, tercatat 1.300 permohonan diska, dengan 95 persen di antaranya disetujui karena memenuhi persyaratan administrasi. Menurut Humas PA Jember, Drs. Moh. Hosen, S.H., M.H., alasan utama pengajuan diska adalah usia pasangan yang belum mencukupi dan adanya kehamilan di luar nikah.

“Pengajuan didominasi perempuan usia 17–18 tahun. Bahkan, ada kasus seorang laki-laki berusia 15 tahun menikahi perempuan berusia 45 tahun,” jelas Hosen, Jumat (27/12/2024).

Namun, tidak semua permohonan disetujui. “Kami hanya mengabulkan permohonan berdasarkan kondisi tertentu, seperti kehamilan atau pertimbangan ekonomi, dengan tetap mematuhi Undang-Undang No. 16 Tahun 2019,” tambahnya.
Kepala Disdukcapil Jember, Isnaini Dwi Susanti, menyoroti pengaruh media sosial sebagai pemicu tren pernikahan dini. “Banyak remaja terjebak pergaulan bebas hingga terjadi kehamilan di luar nikah. Kami sering menolak permohonan administrasi jika anak masih di bawah umur dan tidak memenuhi persyaratan,” tegasnya.

Ia menekankan pentingnya usia minimal pernikahan sesuai undang-undang, yakni 19 tahun. “Orang tua harus lebih bijak dan tidak terburu-buru menikahkan anak, terutama jika belum cukup umur,” imbuhnya.

Lurah Tegal Besar, Heru Setiawan, menyoroti dampak nikah siri terhadap hak-hak anak. “Kami sering menerima pengajuan akta kelahiran dari ibu-ibu yang ditinggal suami, sementara anaknya sudah besar. Ini menyulitkan administrasi karena pernikahan orang tuanya tidak tercatat,” jelas Heru.

Ia mengimbau Ketua RW untuk mendorong masyarakat yang telah lama menikah siri agar mengajukan itsbat nikah ke KUA. “Itsbat penting untuk melindungi hak pasangan dan anak,” tambahnya.

Ningsi Asli, warga Desa Kaliwates, Jember, menjalani pernikahan siri pada usia 16 tahun dan kini harus menanggung akibatnya. Ia ditinggalkan suami tanpa kabar setelah beberapa bulan pernikahan.

“Saya menikah siri karena sudah cinta dan percaya padanya. Tapi ternyata dia pergi begitu saja. Rasanya sakit, apalagi status saya tidak diakui secara hukum,” ungkap Ningsi dengan nada sedih.
Menurut Heru Setiawan, salah satu alasan masyarakat memilih nikah siri adalah keterbatasan aturan, seperti yang dialami PNS, TNI, atau Polri. Selain itu, ada juga alasan pribadi, seperti keengganan istri pertama memberikan izin untuk menikah lagi.

Di sisi lain, peran tokoh agama dalam melegalkan pernikahan siri juga menjadi sorotan. Alibi menghindari dosa zina sering kali menjadi pembenaran bagi praktik ini.

Fenomena ini diperparah oleh maraknya layanan pernikahan siri di beberapa kecamatan seperti Ambulu, Puger, Kaliwates, Patrang, dan Wuluhan. Kondisi ini menunjukkan kompleksitas sosial yang membutuhkan perhatian serius.

Melihat tingginya angka perceraian dan pernikahan dini, sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga keagamaan sangat diperlukan. Edukasi tentang pentingnya mencatatkan pernikahan harus ditingkatkan demi melindungi hak pasangan dan anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut.

Maski