Galeri  

SALMAN BERJUMPA TUNAWISMA DI LONDON

Oleh Denny JA

Di Bulan Desember 2024, 1 dari 47 penduduk London tak punya rumah. Jumlahnya meningkat 54 persen dalam 10 tahun terakhir (1)

-000-

Salman, warga Jakarta,
termenung di musim dingin, di Hyde Park, London.

Ia melihat luka di balik putihnya salju.
Inikah dosa peradaban?

Awalnya, ia hanya ingin menikmati musim dingin,
es yang jatuh di daun,
dan membekukan air danau.

Salman melangkah, pelan dan mendalam,
sepatu kulitnya, yang mahal, berirama di jalan setapak taman.

Mantel wol hitamnya,
sangat hangat,
mendekap badan,
menambah nyaman hidupnya.

Lihatlah matanya,
mata seorang pengelana,
selalu haus,
mencari cerita yang tak pernah dikisahkan.

Baginya, London etalase dunia, mahakarya peradaban.
Big Ben berdetak menjadi nadi zaman.

Jalan Oxford yang mewah.
Gedung-gedung kaca mencakar langit,
seolah ingin menulis puisi di awan.
Di sini sejarah industri bermula.

Tapi hari itu, Salman terpana.
Di taman, di musim dingin,
di antara salju yang melapisi bangku tua,
ia melihat dunia lain:
sepasang mata kecil,
seperti air mata di lemari perhiasan.

Ellie duduk di sana, bersama adiknya Jamie.
Salju menggumpal di ujung rambut mereka.
Tangan kecil Jamie memeluk selembar selimut usang,
ia melawan angin yang tak pernah berhenti.

Ellie menatap tanah,
tak ada ceria di wajahnya,
hanya kelelahan seorang tua dalam tubuh anak.

Ellie, remaja usia 13 tahun, bercerita
tentang rumah penampungannya yang bocor,
tentang langit-langit kamarnya yang busuk,
tentang mimpi mengejar kehangatan
dan tak lagi minum teh basi di dapur kumuh.

Salman tertegun.

“Bagaimana mungkin?” pikirnya.
“London, kota para raja dan ratu,
tak bisa melindungi anak ini
dari gigitan musim dingin?”

Dan ternyata, oh ternyata,
ratusan ribu warga London tak punya rumah.

Angin mengiris pipinya,
tapi Salman tahu,
bukan ia yang menderita.

Di depan matanya, Ellie dan Jamie menggigil.
Mereka daun kering yang gemetar diterpa angin, yang akan menggugurkannya,
jatuh merana di tanah.

Sore itu, Salman ikut menggigil,
bukan karena angin dingin, tapi karena kisah Ellie:

tentang ibu mereka yang lelah mencari kerja,
tentang pemukiman sementara yang lembap dan sempit,
tentang Jamie yang batuk di kegelapan,
tentang mereka yang tinggalnya berpindah-pindah,
tentang sekolah yang sering terhenti.

“Banyak teman mainku tak punya rumah,”
kisah Ellie.

Di mata Ellie, Salman melihat negerinya sendiri:
seorang ibu di pelosok
yang menunggu puskesmas buka
sambil memeluk anak yang demam.
Sebuah keluarga di pinggiran Jakarta,
yang berbaring di tikar kardus
dengan langit sebagai atap.

“Ellie,” bisik Salman pada dirinya,
“Kamu adalah cermin retak peradaban ini,
memantulkan kemewahan tanpa jiwa.

Kamu nyala kecil di tengah badai,
mengingatkan dunia,
gedung tinggi dan gemerlap lampu,
tak berarti jika cinta dan keadilan tak pernah tinggal di dalamnya.”

Salman berjalan pergi,
tapi Ellie tetap di dalam dirinya.
Menjadi salju yang tak pernah mencair,
Salman membawa kisah itu pulang.

Di hatinya, Salman menanam kecewa.
Tapi bisakah kecewa itu menjadi api,
membakar ketidakadilan,
dan menghangatkan dunia
bagi mereka yang tak memiliki rumah.

London, 7 Januari 2025

(1) Puisi esai ini dramatisasi dari kisah sebenarnya