LBHI Batas Indragiri : “BOBROKNYA SISTEM BELAJAR MENGAJAR SEKOLAH NEGERI DI INDRAGIRI HULU ?!”

Gelobal Investigasi News INHU
PEKANBARU- Larangan jual beli Lembar Kerja Siswa (LKS) disekolah telah di atur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan. Bahkan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi(Kemendikbudristek) juga menegaskan kembali aturan ini untuk memastikan penerapannya diseluruh satuan pendidikan.

Ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan pasal 181a: Melarang pendidik dan tenaga kependidikan, baik perorangan maupun kolektif, untuk menjual buku pelajaran, LKS, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, seragam sekolah atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan.

Pernyataan ini disampaikan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) Batas Indragiri, Rahman Ardian SH MH kepada wartawan, Kamis (16/1/2025).

Menurut Pengacara Muda ini, larangan ini ditujukan untuk mencegah adanya praktik komersialisasi di lingkungan pendidikan yang dapat membebani siswa dan orang tua.

Kemudian, ada juga dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2020 tentang Komite Sekolah Pasal 12a:

Aturan ini mengukuhkan larangan serupa pada pihak yang memiliki peran dalam pengelolaan dan penyelenggaraan kegiatan di sekolah, sehingga tidak ada celah untuk praktik jual beli yang tidak sesuai dengan ketentuan.

Dengan adanya peraturan yang jelas ini, diharapkan seluruh pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan dapat mematuhinya dan berfokus pada peningkatan kualitas pendidikan tanpa memberatkan siswa dan orang tua dengan biaya tambahan yang tidak perlu.

Namun demikian, sebut Rahman, Indikasi praktek jual beli lembar kerja siswa (LKS) masih terjadi pada siswa di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Provinsi Riau.

Meski sudah dilarang, tegas dia, praktik jual beli LKS ini diduga melibatkan banyak pihak masih terjadi.

Dikatakan Rahman, adanya praktik jual beli LKS oleh guru ini berdasarkan laporan orangtua siswa dan masyarakat kepadanya. Laporan ini langsung ditindaklanjuti ke sekolah tersebut.

“Saya miris ada orangtua yang bercerita kepada kami bahwa dirinya tidak punya uang untuk membeli LKS di SDN 18 Rengat. Mendengar itu saya langsung bayarkan pakai dana pribadi kepada guru anak ibu itu. Saya transfer. Dan buktinya ada,”kata Rahman lagi.

Dijelaskan Rahman, saat transfer itu guna uangnya untuk bayar LKS, uang les, dan uang kas. Kalau totalnya sebut Rahman, jumlahnya Rp584.000.

Sudah jelas dalan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 2 tahun 2008 tentang Buku, pasal (11) melarang sekolah menjadi distributor atau pengecer buku Kepada siswa.

Pada Undang-Undang No.3 Tahun 2017 juga mengatur sistem Perbukuan, tata kelola Perbukuan yang dapat dipertanggung jawabkan secara menyeluruh dan terpadu, yang mencakup pemerolehan naskah, penerbitan, pencetakan, pengembangan buku elektronik, pendistribusian, penggunaan, penyediaan, dan pengawasan buku.

Aaturan tersebut, sambungnya, berbunyi Buku pegangan siswa dari sekolah. diberikan secara gratis, karena disubsidi pemerintah melalui Dana Bantuan Operasional (BOS).Buku yang disubsidi pemerintah tidak boleh dijual kepada siswa. Karena itu hak siswa.

Jelaskan, tegas dia, buku LKS tidak diperjual belikan di sekolah. Siswa berhak membeli LKS, namun tidak disekolah. Orangtua siswa beli LKS di toko buku.

Itu tertuang dalam Pasal (1) angka 10 , yang mana toko buku termasuk ke dalam distributor eceran buku atau pengecer, yang lengkapnya berbunyi Distributor eceran buku yang selanjutnya disebut pengecer adalah orang-perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang memperdagangkan buku dengan cara membeli dari penerbit atau distributor dan menjualnya secara eceran kepada konsumen akhir.

Jadi, menurut dia lagi, dalam hal ini ditemukan ada tenaga pengajar atau guru disekolahan yang menjual secara langsung buku LKS kepada siswa hal itu patut dipertanyakan.

“Tugas dan fungsi seorang guru adalah mengajar dilembaga pendidikan, dan disekola pungkasnya (sw)