Dr. Prawitra Thalib,S.H.,M.H.,ACIArb.
Kaprodi Magister kajian Ilmu Kepolisian Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
Dalam ikhtiar rancangan pembaruan hukum acara pidana, harus ada penegasan bahwa wewenang penyidikan seharusnya berada sepenuhnya pada kepolisian dan ini adalah kebijakan yang sudah tepat, strategis serta sesuai dengan prinsip tata kelola penegakan hukum yang baik. Kepolisian, sebagai institusi yang secara konstitusional ditugaskan untuk menjaga keamanan dan menegakkan hukum, merupakan lembaga yang paling tepat untuk menjalankan fungsi penyidikan secara terpusat. Dalam praktik hukum pidana, pembagian wewenang penyidikan kepada banyak institusi berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan dan konflik antar institusi, tidak hanya itu hal ini juga bertentangan dengan prinsip diferensiasi fungsional, ini disebabkan karena masing-masing institusi sudah jelas kewenangannya. Lebih detail lagi persoalan ini bukan lah kewenangan yang lahir dari norma, namun lebih di ranah implementasinya, terlebih lagi pada poin koordinasi dalam proses penyidikan tersebut, dengan menetapkan kepolisian sebagai satu-satunya penyidik, proses penyidikan sepantasnya dapat dilakukan dengan lebih efisien, terarah, dan terkoordinasi tanpa hambatan birokrasi yang berlebihan. Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) memiliki sumber daya manusia, teknologi, dan sistem pelatihan yang dirancang untuk mendukung fungsi penyidikan, karena memang di desain untuk menjalankan hal tersebut, tidak hanya itu kepolisian dapat memastikan bahwa proses pengumpulan bukti, penanganan saksi, dan rekonstruksi perkara dilakukan sesuai standar hukum yang berlaku. Menyerahkan wewenang penyidikan kepada polisi dan wewenang penuntutan kepada institusi lain seperti Kejaksaan maka secara tidak langsung akan menciptakan pembagian peran yang lebih jelas dalam sistem peradilan pidana. Dengan demikian, kejaksaan dapat sepenuhnya fokus pada tugasnya sebagai penuntut umum, tanpa dibebani oleh tugas-tugas penyidikan. Yang mana pada intinya jangan sampai suatu institusi dalam penegakan hukum menjadi lebih “super” dari institusi lain karena ada kewenangan lebih yang diberikan padanya. Keterlibatan institusi di luar Kepolisian dalam upaya penyidikan, dapat menimbulkan sejumlah risiko dan permasalahan, misalkan sebagai contoh, ketika kejaksaan memiliki kewenangan untuk menyidik, batasan peran antara penyidik (polisi) dan penuntut umum (kejaksaan) menjadi kabur. Tumpang tindih ini dapat memperlambat proses penanganan perkara, memicu konflik antar lembaga, dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pencari keadilan. Oleh sebab itu sudah seharusnya wewenang penyidikan sudahlah tepat ketika berada pada instansi Kepolisian saja sebagaimana hal hanya Kejaksaan dengan fungsi penututan, adapun apabila ada ketidak puasan dari publik terhadap dua Lembaga tersebut ketika menjalankan fungsinya masing-masing, maka harusnya mekanisme supervisi mesti dilakukan dengan ketat dengan mekanisme reward and punishment bukan menambah atau mengubah kewenangan dasar dari masing-masing institusi tersebut.