Banjarmasin, GINEWS COM
- Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan masalah serius yang banyak dihadapi oleh keluarga di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Kasus yang melibatkan terdakwa Ardi, suami dari korban bernama J, menjadi contoh nyata dari permasalahan ini.
Persidangan yang berlangsung pada Rabu, (19/03/2025) di Pengadilan Negeri Banjarmasin menghasilkan keputusan yang mengejutkan banyak pihak.
Ardi dijatuhi hukuman delapan bulan penjara, sebuah keputusan yang dianggap sangat ringan mengingat seriusnya tindakan yang dilakukannya terhadap istrinya.
Dalam persidangan, terungkap bahwa Ardi telah melakukan pengancaman dan percobaan pembunuhan terhadap J dengan menggunakan sebilah gunting.
Tindakannya ini tidak hanya mengancam nyawa J, tetapi juga menimbulkan trauma mendalam, tidak hanya pada korban tetapi juga pada tiga anak mereka.
Keluarga J yang hadir dalam persidangan yang di dampingi Habib Muchdor Assegaf bersama Ormas BAKORMAD merasa sangat kecewa dengan putusan majelis hakim, yang menganggap hukuman yang dijatuhkan tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan oleh tindakan Ardi.
Pernyataan korban kepada media mengungkapkan bahwa selama berumah tangga, Ardi tidak pernah memberi nafkah kepada J. Sebaliknya, J harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
“AR justru selalu meminta uang untuk keperluan pribadinya yang tidak jelas,”
Keadaan ini menunjukkan betapa hubungan mereka tidak seimbang dan dipenuhi dengan tekanan dari pihak Ardi.
Keluarga J juga menambahkan bahwa Ardi sering kali mengancam J, baik secara materi maupun secara mental, menciptakan lingkungan yang tidak aman dan menakutkan bagi J dan anak-anak mereka.
Kehadiran keluarga J di persidangan juga membawa suara yang lebih kuat, meminta agar hukuman terhadap Ardi dipertimbangkan kembali.
Mereka merasa bahwa pasal yang dikenakan kepada Ardi terlalu ringan dan tidak mencerminkan keparahan tindakannya.
Permintaan banding yang diajukan oleh keluarga J mencerminkan harapan untuk mendapatkan keadilan yang lebih besar, tidak hanya untuk J tetapi juga sebagai pesan bagi pelaku KDRT lainnya.
Keluarga korban berharap agar pengadilan dapat memberikan hukuman yang lebih berat sehingga dapat menimbulkan efek jera.
Mereka berpendapat bahwa hukuman yang lebih signifikan terhadap pelaku KDRT adalah langkah penting untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.
“KDRT sudah seharusnya dipandang sebagai pelanggaran serius yang tidak boleh ditoleransi, dan setiap putusan pengadilan harus mencerminkan komitmen untuk melindungi para korban dan menghukum pelaku dengan tegas.” Tegas Habib Muchdor.
Dalam penyelesaian kasus KDRT, penting untuk mengedepankan perspektif korban.
“Korban seperti J tidak hanya menghadapi masalah fisik akibat kekerasan yang dialami, tetapi juga dampak psikologis yang berkepanjangan,” tambahnya lagi.
Oleh karena itu menurut Habib Muchdor Assegaf, sistem hukum seharusnya tidak hanya fokus pada tindakan kriminal yang dilakukan, tetapi juga pada dampak yang dirasakan oleh korban dan keluarganya.
Dalam konteks ini, harapan keluarga J untuk mendapatkan keadilan melalui proses banding sangatlah beralasan.
Penelitian menunjukkan bahwa KDRT sering kali memiliki dampak jangka panjang tidak hanya bagi korban tetapi juga bagi anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan kekerasan.
Oleh karena itu, keputusan pengadilan yang adil dan proporsional sangat penting dalam memutus siklus kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga.
Sebagai kesimpulan, kasus kekerasan dalam rumah tangga yang melibatkan terdakwa Ardi merupakan pengingat akan pentingnya penanganan serius terhadap KDRT.
Putusan yang diambil oleh pengadilan harus mencerminkan keadilan bagi korban serta memberikan efek jera kepada pelaku.
Keluarga J dan masyarakat luas berharap agar setiap kasus KDRT diperlakukan dengan sungguh-sungguh, dan para pelaku dihadapkan pada konsekuensi hukum yang berat sebagai bentuk perlindungan bagi korban dan pencegahan kekerasan di masa depan.(Wawan/yuday)