Berita  

“Keluarga Bapak Musa Lauri Menarik Berkas Dari Asset, Terkesan Merasa Dibohongi Dengan Data Tahun 2020 ?!”

Hal-Sel, Global Investigasi News — Keluarga besar Bapak Musa Lauri resmi menarik kembali seluruh berkas terkait pembayaran lahan miliknya dari pihak Aset Daerah. Keputusan ini diambil lantaran mereka merasa telah dibohongi dan diperlakukan tidak adil. Penyebab utamanya adalah penggunaan data ukuran lahan tahun 2020 dalam proses pembayaran yang seharusnya menggunakan data terbaru tahun 2025.

Menurut keluarga Bapak Musa Lauri, pengukuran lahan pada tahun 2020 memang pernah dilakukan secara resmi oleh tim yang terdiri dari perwakilan Kementerian Perhubungan, pihak Bandara, dan Aset Daerah. Saat itu, Bapak Musa Lauri ikut langsung dalam proses pengukuran dan bahkan sempat berfoto dengan tanaman yang menjadi bagian dari lahan tersebut. Namun, yang menjadi persoalan besar adalah ketika pembayaran dilakukan kepada pihak lain, yakni Bapak Hi. Husen, sedangkan lahan milik Bapak Musa Lauri yang diukur saat itu justru tidak mendapat pembayaran apa pun. 5/11/2025

Keluarga Musa Lauri menilai tindakan tersebut sangat merugikan, terlebih karena pada tahun 2025 ini pemerintah kembali hendak melakukan pembayaran pembebasan lahan, tetapi menggunakan ukuran dan data lama dari tahun 2020. “Kalau memang data tahun 2020 yang dipakai, kenapa waktu itu kami tidak dibayar juga?” ujar salah satu anggota keluarga Musa Lauri dengan nada kecewa.

Masalah semakin pelik karena hasil pengukuran tahun 2020 dan kondisi lahan tahun 2025 ternyata tidak lagi sama, baik dari segi ukuran maupun nilai pajaknya. Ada perubahan luas dan batas tanah akibat perkembangan area sekitar, termasuk penyesuaian pada lahan kebun milik Bapak Musa Lauri yang kini sudah berbeda dibanding lima tahun lalu.

Lebih lanjut, diketahui ada empat nama pemilik lahan yang lahannya akan diselesaikan pada tahun 2025 nanti, yakni Kasman Marengkeng, Musa Lauri, Halid Yusuf, dan Daniel Sabon. Namun, data yang digunakan tetap data lama.Menurut keluarga Bapak Musa Lauri, apabila Daniel Sabon menerima pembayaran, maka Lamber juga seharusnya mendapat ganti rugi karena lahan miliknya lebih dulu sebelum Daniel Sabon. Anehnya, nama Lamber justru tidak tercantum sama sekali dalam daftar penerima.

Situasi ini memunculkan dugaan adanya praktik tidak sehat dalam proses pembebasan lahan bandara. Masyarakat setempat bahkan mendesak aparat penegak hukum (APH) untuk turun tangan dan tidak tinggal diam, karena dikhawatirkan telah terjadi gratifikasi atau penyalahgunaan wewenang di lingkungan pejabat terkait aset daerah.

Akibat kekecewaan yang mendalam, Musa Lauri akhirnya memutuskan menarik seluruh berkasnya dan menolak proses pembayaran yang dianggap tidak sesuai. Ia menilai langkah ini sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan. Saat pembayaran untuk Hi. Husen dilakukan, sebagian lahan milik Musa Lauri dan Kasman Marengkeng justru ikut terhitung di dalamnya. Padahal, berdasarkan keterangan Bapak Simon—orang yang menjual lahan kepada Hi. Husen—luas lahan yang dijual hanyalah satu hektar dua ratus meter persegi, bukan dua hektar dua puluh dua meter persegi seperti yang tercatat dalam dokumen pembayaran.

Hal yang lebih memprihatinkan lagi, menurut keluarga Musa Lauri, Kabid Aset justru menyarankan mereka untuk “berunding” dengan Hi. Husen agar mencari jalan keluar bersama, padahal pembayaran kepada Hi.Husen sudah tuntas dilakukan. Pernyataan itu membuat keluarga Musa Lauri merasa dilecehkan. “Apa maksud Kabid Aset menyuruh kami berunding dengan orang yang sudah menerima uang? Ini sama saja mengajak kami untuk berkelahi,” kata salah satu anggota keluarga dengan nada geram.

Kini, keluarga besar Musa Lauri berharap agar pihak berwenang dapat meninjau ulang seluruh dokumen dan proses pembayaran pembebasan lahan bandara. Mereka menegaskan bahwa tidak menolak pembangunan, tetapi menuntut keadilan dan transparansi. “Kami hanya ingin dibayar sesuai hak kami, berdasarkan ukuran dan data tahun ini, bukan memakai data lama yang tidak relevan lagi,” tegas keluarga Musa Lauri.

Kasus ini menjadi sorotan karena dinilai mencerminkan lemahnya pengawasan dan potensi penyimpangan dalam pengelolaan aset daerah. Pemilik lahan pun berharap agar aparat segera menindaklanjuti persoalan ini. (LM.T)