Berita  

Pak Simon: “Tanah Milik Saya Tidak Sampai Dua Hektar”, Keluarga Musa Lauri Menilai Tanahnya Diduga Dirampas Akan Tempuh Jalur Hukum ?!

HALMAHERA SELATAN — Persoalan sengketa lahan di Desa Tomori, Kecamatan Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, kembali memanas. Keluarga besar Bapak Musa Lauri menuding adanya dugaan perampasan tanah keluarga mereka yang kini menjadi bagian dari lahan proyek penambahan panjang landasan pacu Bandara Usman Sadik.5/11/2025.

Kasus ini mencuat setelah Bapak Simon, salah satu warga Desa Tomori yang disebut-sebut menjual lahan kebunnya kepada Hi. Husen, warga Desa Hidayat, memberikan klarifikasi bahwa luas tanah yang ia jual tidak mencapai dua hektar.

Pernyataan itu disampaikan langsung oleh Bapak Simon saat keluarga Musa Lauri menemuinya di kediaman Desa Tomori pada Senin, 3 November 2025. Dalam pertemuan tersebut, Simon menegaskan bahwa lahan yang ia jual hanya sekitar 1 hektar 200 meter, bukan dua hektar sebagaimana tercatat dalam dokumen pembebasan lahan bandara.

“Tanah yang saya jual itu tidak sampai dua hektar. Kurang lebih satu hektar dua ratus meter saja,” ujar Simon di hadapan keluarga Musa Lauri.

Namun, berdasarkan data dari pihak aset, lahan yang kini tercatat atas nama Hi. Husen dan telah dibeli untuk kepentingan proyek bandara memiliki luas sekitar 2 hektar 22 meter persegi. Selisih luas ini menimbulkan dugaan bahwa sebagian lahan yang tercatat tersebut merupakan milik keluarga Musa Lauri.

Keluarga Musa Lauri pun merasa tanah mereka “dirampok” secara halus melalui proses administrasi yang tidak melibatkan mereka secara resmi. Mereka mengaku tidak pernah diundang dalam proses pengukuran lahan.

Beberapa bulan sebelumnya, ketika ditemui oleh wartawan, Hi. Husen juga memberikan keterangan menarik. Ia menyebut bahwa wilayah yang memiliki tanda merah di area kebun adalah lahan yang telah dijual kepada pihak bandara. Namun, tanda merah yang ditunjukkan tersebut, menurut keluarga Musa, justru berada di area yang termasuk dalam kebun mereka.

“Kalau berdasarkan tanda merah di pohon pala itu, berarti sudah masuk ke tanah kebun milik saya,” ujar Musa Lauri menirukan penjelasan Husen.

Hi. Husen juga mengaku bahwa tanah yang ia jual untuk kepentingan proyek bandara dibayar dengan total nilai Rp2,2 miliar, namun uang yang benar-benar ia terima hanya sekitar Rp1,6 miliar. Ia bahkan menyebut bahwa sebagian dana diberikan kepada beberapa oknum tertentu dengan alasan “ikhlas”.

“Saya memang kasih ke beberapa orang itu, tapi saya kasih dengan ikhlas,” ungkap Husen.

Sementara itu, pihak aset daerah ketika dikonfirmasi beberapa bulan lalu menyatakan bahwa seluruh pembayaran kepada pemilik lahan dilakukan melalui transfer rekening, bukan secara tunai.

Keterangan yang saling bertentangan ini memperkuat dugaan bahwa telah terjadi gratifkasi dan penyimpangan dalam proses pembebasan lahan proyek bandara. Dugaan tersebut muncul karena adanya perbedaan data luas tanah, pembayaran yang tidak sesuai, serta keterlibatan oknum-oknum yang menerima uang di luar prosedur resmi.

Keluarga Musa Lauri kini mendesak aparat penegak hukum, baik dari kepolisian maupun kejaksaan, untuk segera mengusut tuntas dugaan gratifikasi dan perampasan tanah secara sepihak. Mereka menilai bahwa hak mereka sebagai pemilik tanah telah diabaikan dan proses hukum adalah jalan terakhir untuk mencari keadilan.

“Kami akan menempuh jalur hukum karena tanah itu milik kami. Saat pengukuran pun kami tidak diundang, jadi jelas kami dirugikan,” tegas salah satu anggota keluarga Musa Lauri.

Kasus ini menambah daftar panjang persoalan agraria di Halmahera Selatan yang kerap kali melibatkan masyarakat kecil sebagai korban. Masyarakat berharap agar pemerintah daerah dan aparat hukum bersikap tegas dan transparan dalam menyelesaikan sengketa tanah, terutama yang berkaitan dengan proyek strategis seperti pengembangan Bandara Usman Sadik. (LM.T)