Sungai penuh ginewstvinvestigasiinews.com – Fenomena swamedikasi digital kini menjadi isu serius dalam ekosistem kesehatan Indonesia.
Di tengah kemajuan teknologi dan akses informasi tanpa batas, masyarakat semakin mudah mendapatkan pengetahuan medis hanya dengan bermodalkan gawai dan koneksi internet. Namun, kemudahan tersebut justru menimbulkan paradoks: di satu sisi memberikan manfaat, di sisi lain memicu potensi malapetaka kesehatan akibat penggunaan obat yang tidak tepat.
Kini, mesin pencari, media sosial, grup percakapan daring, hingga fitur marketplace kesehatan berperan layaknya klinik digital. Diagnosis dilakukan berdasarkan pencarian kata kunci gejala, terapi ditentukan melalui video singkat, dan obat dapat dibeli hanya dengan beberapa sentuhan layar—tanpa konsultasi tenaga medis.
“Fenomena ini terlihat modern, tetapi menyimpan risiko besar,” ujar apt. Fajar Arya Pratama, S.Farm., apoteker sekaligus penulis opini ini.
Menurutnya, swamedikasi sejatinya bukan praktik baru. Untuk penyakit ringan, pengobatan mandiri sudah dianjurkan sejak lama.
Namun masalah terjadi ketika swamedikasi dilakukan tanpa dasar ilmu farmakologi, tanpa pemahaman efek samping, interaksi obat, maupun kontraindikasi medis.
Masyarakat kini menjadikan Google sebagai klinik pertama, influencer sebagai sumber validasi kesehatan, dan ulasan pembeli sebagai pengganti konsultasi dokter atau apoteker. Dampaknya? Banyak pasien datang ke fasilitas kesehatan dalam kondisi lebih parah karena keputusan pengobatan yang salah.
Dalam praktiknya, kasus penyalahgunaan antibiotik, penggunaan obat kortikosteroid jangka panjang, hingga pembelian obat keras tanpa resep sudah menjadi pemandangan umum di dunia digital.
“Literasi kesehatan yang rendah bertemu dengan informasi digital yang liar — hasilnya keputusan fatal,” tegas Fajar.
Ia menilai penilaian klinis tidak bisa digantikan mesin pencari.
Diagnosis membutuhkan pengetahuan riwayat penyakit, usia pasien, terapi sebelumnya, hingga kondisi psikologi. “Tidak semua batuk butuh sirup, tidak semua demam butuh antibiotik, dan tidak semua keluhan bisa selesai dengan obat bebas,” katanya.
Masalah semakin kompleks ketika konten edukasi dari tenaga kesehatan kalah bersaing dengan informasi viral. Konten kesehatan yang ilmiah sering dianggap membosankan dibanding tips instan dan testimoni yang viral, meskipun tidak akurat.
Untuk itu, Fajar menegaskan peran apoteker harus berubah. Mereka tidak lagi cukup hanya berada di meja apotek dan fasilitas kesehatan. “Ruang digital adalah medan baru. Apoteker harus hadir sebagai apoteker digital — penyedia informasi yang akurat, ringkas, dapat dipercaya, dan mudah dipahami.”
Selain peran tenaga kesehatan, pemerintah serta platform digital juga wajib memperkuat regulasi. Penjualan obat secara online harus melalui mekanisme yang lebih ketat, termasuk kewajiban konsultasi tenaga kesehatan sebelum pembelian obat tertentu—seperti yang sudah diterapkan di sejumlah negara maju.
Menurut Fajar, edukasi kesehatan masyarakat harus dilakukan secara berkelanjutan, bukan sekadar kampanye sesaat.
“Kesehatan bukan ruang eksperimen, dan kebenaran medis tidak ditentukan oleh jumlah likes,” ungkapnya.
Ia menutup refleksinya dengan pertanyaan penting: apakah kita rela menyerahkan keputusan kesehatan pada algoritma yang tidak mengenal tubuh kita?
“Jika jawabannya tidak,” katanya, “maka ruang digital harus menyediakan tempat bagi suara profesional medis. Dan masyarakat harus kembali mempercayai mereka yang mempelajari ilmu di balik setiap obat yang dikonsumsi.”(Fjr) Apn












