Maluku Utara” Global Investigasi…. Gelombang tekanan publik terhadap dugaan penyimpangan anggaran di lingkungan Sekretariat DPRD Provinsi Maluku Utara terus membesar. Total anggaran pengadaan barang dan jasa yang mencapai Rp817,31 miliar sejak 2019 hingga 2023 kini menjadi sorotan tajam kelompok masyarakat sipil dan aktivis antikorupsi.
Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Maluku Utara menilai bahwa angka tersebut tidak hanya mencurigakan, tetapi juga berpotensi melibatkan praktik korupsi yang dilakukan secara terstruktur, masif, dan sistematis. LIRA menyatakan bahwa pola penggunaan anggaran sangat tidak transparan, tidak terpublikasi secara utuh, dan minim akuntabilitas.
Walaupun Kejaksaan Tinggi Maluku Utara telah membuka penyelidikan terkait dugaan penyalahgunaan anggaran operasional anggota DPRD senilai sekitar Rp60 juta per orang untuk periode lima tahun, proses hukum dianggap berjalan sangat lambat.
Sejumlah pejabat DPRD memang telah diperiksa sebagai saksi, namun tidak ada perkembangan berarti dalam penanganan dugaan penyimpangan anggaran yang jauh lebih besar di tubuh Sekretariat DPRD.
Ketegangan publik meningkat ketika muncul persepsi bahwa pejabat pengelola anggaran inti, termasuk mantan Sekretaris DPRD, tidak tersentuh oleh proses pemeriksaan.
Hal ini memunculkan kecurigaan bahwa ada pihak tertentu yang dilindungi atau diperlakukan istimewa.
Selain soal alokasi dana, publik mempertanyakan apakah proyek pengadaan barang dan jasa pada periode tersebut benar-benar dilaksanakan sesuai ketentuan. Ketiadaan transparansi vendor, absennya publikasi laporan kontrak, hingga dugaan mark-up menjadi bagian dari agenda investigasi yang kini didorong oleh aktivis antikorupsi.
Sejumlah pemerhati anggaran daerah menilai bahwa realisasi belanja terkesan janggal dan tidak proporsional dengan kebutuhan administratif DPRD. Jika dugaan ini benar, maka pengelolaan anggaran tersebut patut dipertanyakan, terutama terkait siapa saja yang mendapatkan keuntungan dari proyek tersebut.
Melihat lambannya penanganan kasus di tingkat daerah, LIRA secara terbuka menyerukan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan. Menurut mereka, hanya campur tangan lembaga antirasuah itu yang dapat mencegah potensi konflik kepentingan dan intervensi politik dalam proses hukum.
LIRA menilai bahwa kasus dengan nilai anggaran sebesar itu tidak boleh ditangani setengah hati. Dengan dugaan keterlibatan pejabat struktural dan alokasi dana yang besar, KPK dianggap lebih layak memimpin proses penyelidikan karena memiliki kewenangan yang lebih luas dan bebas tekanan politik lokal.
Publik kini menunggu bukti nyata keberpihakan aparat hukum kepada kepentingan rakyat. Anggaran ratusan miliar tersebut berasal dari uang negara yang semestinya digunakan untuk mendukung fungsi pemerintahan, bukan untuk memperkaya kelompok tertentu.
Jika benar terjadi pelanggaran, maka penegakan hukum harus dilakukan dengan cepat, tegas, dan tanpa kompromi. Jika tidak, kasus ini berpotensi menjadi preseden buruk bahwa korupsi besar dapat disembunyikan lewat waktu, prosedur, dan kompromi kekuasaan.
Hingga berita ini diturunkan, tidak ada keterangan resmi mengenai perkembangan signifikan penyelidikan dugaan penyimpangan anggaran Rp817 miliar tersebut. Tidak ada status tersangka, tidak ada penahanan, dan belum ada penjelasan transparan kepada publik.
Situasi ini memicu gelombang ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum di daerah. Banyak pihak menilai bahwa jika penanganan perkara ini tidak dibuka secara transparan, maka dugaan persekongkolan politik dan hukum akan semakin sulit dibantah.
Dugaan skandal anggaran di Sekretariat DPRD Maluku Utara kini menjadi isu serius yang terus menguat. Publik, aktivis, dan lembaga pemantau korupsi menuntut agar kasus ini tidak berhenti di meja penyelidikan, tetapi diproses hingga tuntas.
Untuk sementara, seluruh pihak yang disebut dalam laporan publik masih berstatus diduga, namun tekanan masyarakat jelas:
Korupsi tidak boleh menjadi budaya dan hukum tidak boleh tunduk pada kekuasaan.
Tim/ Red..












