HALMAHERA SELATAN, MALUKU UTARA — Sejumlah nelayan dan nakhoda perahu motor (PM) di Kabupaten Halmahera Selatan menyoroti ketidakjelasan pengelolaan dana retribusi Pelabuhan Habibi. Mereka menuding adanya dugaan penyalahgunaan pungutan yang dilakukan oleh oknum pegawai Dinas Perhubungan (Dishub) pada tahun 2023–2024 lalu.
Pasalnya, meski para nelayan rutin membayar retribusi setiap kali masuk dan bersandar di Labuha, hingga kini mereka belum menikmati fasilitas pelabuhan yang memadai. Sebaliknya, sebagian besar perahu motor dan spitbod masih harus berlabuh di jembatan pribadi milik warga, yang jauh dari kata aman.
“Kami bayar pajak pelabuhan setiap kali masuk Labuha, tapi sampai sekarang belum ada pelabuhan khusus buat perahu motor. Kami masih sandar di jembatan milik pangkalan pribadi,” ujar salah satu nakhoda perahu motor yang enggan disebut namanya, Senin (7/10/2025). Nelayan tersebut juga menuturkan bahwa pelabuhan atau jembatan yang dibangun oleh Pemerintah Daerah (Pemda) di depan bekas kantor Bank BRI lama dinilai tidak layak digunakan. Ketinggian jembatan membuat proses naik-turun penumpang maupun bongkar muat barang menjadi sulit, terutama saat air laut surut atau cuaca buruk.
“Jembatan yang dibangun Pemda itu terlalu tinggi. Kalau datang ombak besar atau angin kencang, kami tidak bisa sandar. Terpaksa cari tempat lain untuk selamatkan perahu,” ungkapnya. Para nelayan mengaku telah berulang kali menyampaikan keluhan ini kepada pihak Dishub, namun belum ada solusi konkret. Mereka berharap pemerintah segera menyediakan pelabuhan khusus untuk perahu motor (PM) dan spitbod agar aktivitas mereka lebih aman dan tertata.
Kepala Bidang (Kabid) Prasarana Dinas Perhubungan Halmahera Selatan, Duma Irianto, S.Si.T, saat dikonfirmasi media membenarkan adanya pungutan retribusi pelabuhan Habibi. Ia menyebut bahwa penagihan dilakukan oleh pegawai honorer atas perintah langsung dari dinas, dan wilayah pungutan mencakup seluruh area dari Kupal hingga Pelabuhan Habibi.
“Wilayah retribusi kami mulai dari Kupal sampai Pelabuhan Habibi. Jadi meskipun mereka sandar di jembatan pribadi, itu tetap masuk wilayah Dishub, makanya tetap kami tarik retribusi,” jelas Duma, Rabu (9/10/2025). Menurutnya, penarikan retribusi tersebut berlangsung sejak tahun 2023 hingga September 2024, namun saat ini telah dihentikan sementara waktu.
“Sekarang penagihan sudah kami hentikan, karena kami pikir kami belum punya pos resmi atau pelabuhan khusus. Jadi sementara ini kami hentikan dulu sampai pelabuhan baru selesai,” tambahnya. Meski Dishub telah meminta seluruh perahu motor, spitbod, dan perahu fiber berpindah ke pelabuhan Habibi, sebagian besar nelayan menolak. Mereka menilai dermaga yang dibangun pemerintah itu terlalu tinggi dan berbahaya bagi perahu kecil.
“Kami sudah suruh mereka pindah ke pelabuhan Habibi, tapi mereka tidak mau. Alasannya karena pelabuhan di situ terlalu tinggi, kalau ombak besar mereka bisa kesulitan. Jadi mereka tetap pilih sandar di jembatan milik pangkalan pribadi,” kata Duma. Ia mengakui bahwa kondisi pelabuhan Habibi saat ini memang belum ideal untuk digunakan secara maksimal. Karena itu, Dishub tengah menyiapkan pembangunan pelabuhan baru di kawasan Towokona, yang nantinya akan difungsikan sebagai tempat labuh utama bagi semua spitbod dan perahu motor dari berbagai pulau.
“Kami sedang bangun pelabuhan baru di Towokona. Kalau nanti sudah jadi, semua akan kami arahkan ke sana supaya tidak lagi berlabuh di jembatan pribadi,” jelasnya. Di sisi lain, nelayan meminta Dishub Halmahera Selatan untuk bersikap terbuka mengenai penggunaan dana retribusi yang telah dipungut selama dua tahun terakhir. Mereka menilai, seharusnya sudah ada hasil nyata dari dana yang dikumpulkan tersebut.
“Kami tidak tahu uang retribusi itu dipakai buat apa. Kalau benar untuk bangun pelabuhan baru, mestinya sudah terlihat hasilnya sekarang. Tapi yang kami lihat, pelabuhan malah belum bisa dipakai,” ujar seorang pemilik perahu kayu dari Pulau Kasiruta. Mereka berharap Bupati Halmahera Selatan menindaklanjuti keluhan ini dan memeriksa langsung kinerja Dinas Perhubungan. Para nelayan menilai, pungutan tanpa kejelasan justru menambah beban mereka di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
“Kami ini rakyat kecil. Kalau disuruh bayar, kami bayar. Tapi pemerintah juga harus tanggung jawab. Jangan cuma ambil retribusi, tapi fasilitasnya tidak ada,” ujar salah satu nakhoda lain yang ditemui di Jembatan Pangkalan Labuha.
Hingga kini, proyek pembangunan pelabuhan di Towokona disebut masih dalam tahap pengerjaan. Dishub mengklaim bahwa pelabuhan tersebut nantinya akan menjadi solusi bagi perahu motor dan spitbod yang selama ini tidak memiliki tempat labuh tetap.
Namun sejumlah pihak meragukan keseriusan proyek tersebut, mengingat hingga Oktober 2025 belum ada progres fisik yang signifikan. Beberapa nelayan bahkan khawatir pembangunan itu akan bernasib sama seperti pelabuhan Habibi yang tak kunjung layak pakai.
“Kami cuma bisa berharap. Kalau Towokona benar-benar selesai dan bisa dipakai, kami bersyukur. Tapi jangan cuma janji. Kami sudah capek menunggu,” ujar seorang nelayan. Para tokoh masyarakat dan aktivis lokal mendesak agar Dinas Perhubungan segera memberikan laporan terbuka terkait pengelolaan retribusi pelabuhan Habibi. Mereka juga meminta Bupati Halmahera Selatan untuk membentuk tim audit independen guna memastikan tidak ada penyelewengan dana publik.
“Retribusi itu uang masyarakat. Kalau dipungut tanpa dasar dan tanpa hasil, itu bisa termasuk pelanggaran hukum. Harus ada audit dan kejelasan,” tegas salah satu pemerhati kebijakan publik di Labuha.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Dinas Perhubungan Halmahera Selatan belum memberikan keterangan lebih lanjut mengenai total dana retribusi yang terkumpul maupun jadwal pasti penyelesaian proyek pelabuhan Towokona.
(Tim/Red)












