Berita  

DPRD Halmahera Selatan Kritik Kebijakan DPMD: Penahanan Dana Desa Dinilai Tidak Manusiawi bagi Desa Terpencil

HALMAHERA SELATAN — Kebijakan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Halmahera Selatan yang menunda pencairan Dana Desa terhadap 57 desa memicu reaksi keras dari legislatif. Anggota Komisi I DPRD Halmahera Selatan dari Fraksi PKB, Junaidi Abusama, menyebut kebijakan tersebut tidak mempertimbangkan kondisi geografis wilayah yang mayoritas merupakan daerah kepulauan dan sulit dijangkau.

Menurut Junaidi, penundaan pencairan Dana Desa karena belum disampaikannya Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) secara administrasi memang sesuai prosedur. Namun, ia menilai implementasinya tidak boleh dilakukan secara kaku tanpa memperhatikan realitas lapangan.

“Secara aturan, LPJ harus selesai sebelum pencairan dilakukan. Itu betul. Tapi pemerintah juga harus melihat tantangan teknis di lapangan. Tidak semua kepala desa punya akses mudah ke ibu kota kabupaten,” ujar Junaidi saat di wawancara.

Junaidi menjelaskan, sejumlah desa penerima program berada di wilayah seperti Pulau Obi, Makeang, Gane, dan Kayoa. Desa-desa tersebut hanya dapat diakses menggunakan transportasi laut yang bergantung pada jadwal kapal, kondisi cuaca, serta jarak tempuh yang panjang.

Kondisi tersebut, kata dia, membuat kepala desa harus meluangkan waktu berhari-hari hingga berminggu-minggu untuk mengurus administrasi pencairan Dana Desa di Bacan, ibu kota kabupaten. Selain perjalanan, mereka juga harus menanggung biaya penginapan dan kebutuhan operasional selama berada jauh dari desa.

“Bayangkan, ada Kepala Desa yang harus menunggu kapal berhari-hari hanya untuk datang ke Bacan. Setelah sampai, mereka masih harus antre, revisi dokumen, dan bolak-balik ke dinas terkait. Mereka bukan pegawai yang setiap hari bisa datang ke kantor,” tegasnya.

Kritik paling tajam diarahkan kepada kebijakan Kepala DPMD Halmahera Selatan, M. Zaki Abdul Wahab, yang menetapkan tenggat waktu hanya 10 hari kerja bagi kepala desa untuk melengkapi administrasi pencairan.

Menurut Junaidi, aturan tersebut tidak hanya tidak realistis, tetapi juga berpotensi menghambat pembangunan desa yang telah direncanakan melalui Musyawarah Desa dan APBDes.

“Kebijakan sepuluh hari itu tidak masuk akal dan tidak sejalan dengan kondisi objektif di lapangan. Kepala desa dari wilayah terpencil membutuhkan waktu lebih panjang. Tidak bisa disamakan dengan desa-desa di sekitar wilayah Bacan,” tambahnya.

Ia menilai pendekatan tersebut tidak mencerminkan asas keadilan pelayanan publik dan justru menunjukkan birokrasi yang terlalu kaku.

Junaidi juga mencatat bahwa persoalan keterlambatan bukan sepenuhnya berasal dari desa. Berdasarkan laporan yang diterima DPRD, proses pencairan seringkali terhambat oleh persoalan teknis di internal dinas, mulai dari kelengkapan verifikasi dokumen, perubahan format administrasi, hingga antrean pemeriksaan berkas.

“Ada kepala desa yang seharusnya selesai dalam tiga hari, tetapi karena kendala teknis di dinas, mereka harus menunggu berminggu-minggu, bahkan ada yang berbulan-bulan. Ini harus menjadi bahan evaluasi serius,” katanya.

Atas kondisi tersebut, Junaidi meminta Bupati Halmahera Selatan untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme pelayanan pencairan Dana Desa dan pola kerja DPMD.

Menurutnya, Dana Desa bukan sekadar aliran anggaran, tetapi salah satu instrumen pemerataan pembangunan yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat desa.

“Dana Desa adalah hak rakyat. Jangan sampai terhambat hanya karena kebijakan birokrasi yang tidak adaptif terhadap karakter daerah kepulauan,” tegasnya.

Ia juga menegaskan pentingnya peningkatan standar layanan publik, terutama bagi wilayah yang secara geografis memiliki hambatan akses.

“Prioritaskan pelayanan bagi desa-desa jauh. Jangan perlakukan mereka seperti pihak yang sedang dihukum. Mereka hadir membawa mandat dan tanggung jawab dari masyarakat desa,” pungkasnya.

Kabiro Halsel.